YOGYAKARTA- Yogyakarta saat ini sedang mengalami gempuran politik demokrasi modern. Hal itu terkait dengan tarik-ulur susbtansi RUU Keistimewaan (RUUK) DIY antara pemerintah pusat dengan masyarakat Yogyakarta. Dalam hal ini, pemerintah pusat berkeinginan menerapkan pemilihan langsung Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, sementara mayoritas masyarakat Yogyakarta tetap berkehendak adanya penetapan posisi tersebut.
Menurut peneliti pada Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Diasma Sandi Swandaru, jika pemaksaan atas nama demokrasi dengan pilihan langsung diperkirakan akan terjadi genocide of democracy, yakni demokrasi yang membunuh anak kandungnya sendiri. “Akibatnya tanpa kebijaksanaan akan menimbulkan anarkisme atas demokrasi yang dipaksakan,†kata Diasma pada diskusi bertema ‘Demokrasi ala Yogya vs Demokrasi Modern’, Kamis (14/7). Diskusi tersebut merupakan diseminasi acara The 1st International Conference on International Relations and Development (ICIRD 2011), 19-22 May 2011, di Fakultas Ilmu Politik, Thammasat University, Bangkok, Thailand.
Diasma mengatakan proses demokrasi Yogyakarta justru memiliki kekuatan dan nilai-nilai lokalitas yang berperan penting dalam kevakuman regional dan kultural dalam teori demokrasi. Demokrasi yang terjadi bukan hanya untuk ‘menang-menangan’, suara terbanyak. Namun, ada hal lain yang lebih fundamental ialah kesejahteraan dan keadilan sosial. Di Yogyakarta, masyarakat sudah sangat puas dengan kepemimpinan Sri Sultan HB X. Semua proses demokrasi sudah dilaksanakan, mulai dari aspirasi rakyat, dukungan, elemen masyarakat-civil society hingga DPRD di 5 kabupaten/kota mendukung kepemimpinan yang mereka kehendaki, yakni demokrasi terpimpin,dengan Sultan sekaligus sebagai Gubernur DIY. “Demokrasi di Yogyakarta justru memiliki kekuatan dan nilai-nilai lokal yang berperan penting dalam kevakuman regional dan kultural dalam teori demokrasi,†ujar Diasma.
Demokrasi terpimpin menurut Ki Hajar Dewantara sejak 1922 merupakan demokrasi yang mengandung keadilan sosial, yang kemudian disebut sebagai “demokrasi†dan “leiderschap†atau “demokrasi terpimpinâ€, yakni demokrasi yang tidak meluap-luap dan menimbulkan anarki, tetapi demokrasi yang pimpin oleh “kebijaksanaan†dalam arti keinsyafan akan adanya kesejahteraan bersama. Demokrasi tanpa kebijaksanaan pastilah mendatangkan bencana bagi rakyat. Kebijaksaan di sini lebih mengedepankan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan. Pemimpin kebijaksanaan tidak lain ialah asas Trias Politica dengan puncaknya Pancasila. “Jangan lupakan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan dalam sebuah kebijaksanaan. Demokrasi tanpa kebijaksanaan tentu hanya akan mendatangkan bencana,†terangnya.
Ia menuturkan selama ini demokrasi memang menjadi isu yang fundamental karena dianggap sebagai sistem yang lebih baik dari sistem yang ada. Permasalahannya, praktik demokrasi menjadi perdebatan seru di Indonesia. Perdebatan yang terjadi disebabkan beberapa hal. Pertama, mekanisme demokrasi di Indonesia dipertanyakan karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Kedua, demokrasi yang berkembang selama ini pascareformasi 1998 telah menyimpang dan tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila yang lebih mengedepankan musyawarah untuk mufakat demi kepentingan bangsa dan negara. Ketiga, demokrasi yang ada di Indonesia sudah dianggap liberal dan kebablasan. (Humas UGM/Satria AN)