YOGYAKARTA-Perasaan cinta yang sangat mendalam dapat membuat seseorang berbuat dengan ikhlas sekalipun harus mengorbankan harta benda, bahkan dirinya sendiri. Hal ini pula yang terjadi pada diri almarhum Dr. Ir. Fitri Mardjono, M.Sc., dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik (FT) UGM yang meninggal dunia Sabtu (16/7) dini hari sekitar pukul 02.00. Almarhum Fitri Mardjono yang meninggal karena sakit telah menyumbangkan kedua kornea mata dan jasad (kadaver)-nya kepada Fakultas Kedokteran (FK) UGM agar dapat dimanfaatkan bagi orang-orang yang membutuhkan cangkok kornea mata ataupun sebagai bahan pendidikan, khususnya bagi kalangan dokter.
Menurut dr. Muhammad Mansyur Romi, S.U., PA(K), Wakil Dekan Bidang Administrasi, Keuangan, dan Sumber Daya FK UGM, yang juga pakar anatomi menjelaskan apa yang dilakukan Dr. Fitri Mardjono sangat jarang, bahkan sulit dijumpai di Indonesia. “Kalau donor kornea mata memang sudah banyak, lain dengan yang sudah menyumbangkan kadavernya,†kata Mansyur usai pelepasan jenazah di Gedung Radioputro FK UGM, Sabtu (16/7).
Mansyur menilai yang dilakukan oleh Dr. Fitri Mardjono memang masih jarang di Indonesia, tetapi di luar negeri sudah sering terjadi, seperti di Jepang atau AS. “Memang ini bisa dijadikan semacam teladan kepada yang lain jika ingin memberikan manfaat kepada sesama,†kata Mansyur yang saat itu didampingi oleh Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni, Usaha, dan Kesejahteraan FK UGM, Prof. dr. Suhardjo, S.U., Sp.M(K).
Sementara itu, istri almarhum Dr. Fitri Mardjono, Dra. Pangesti Wiedarti, M.Appl.Ling., Ph.D., menuturkan keinginan untuk menyumbangkan kornea mata dan jasad telah disampaikan almarhum sekitar tiga tahun silam. Almarhum Dr. Fitri Mardjono semasa hidupnya memang dikenal tinggi rasa sosial dan kemanusiaannya, terbukti selama hampir 12 tahun beliau merupakan pendonor darah di PMI. “Memang ini dari almarhum semata-mata ingin membantu sesama serta pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan, khususnya di dunia kesehatan. Selain almarhum, saya pun juga berkomitmen sama,†ungkap Pangesti.
Apa yang sudah dilakukan oleh almarhum, menurut Pangesti, sekaligus dapat memberikan inspirasi kepada masyarakat Indonesia untuk lebih mencintai kepada dua hal, yakni kecerdasan serta kesehatan. Keduanya saling terkait dan saling mendukung. Di samping itu, pihak keluarga juga berharap kepada masyarakat agar dapat semakin yakin dengan berbagai pengobatan yang dilakukan para dokter Indonesia sehingga tidak perlu lagi berobat ke luar negeri. “Ini yang belum jadi budaya masyarakat. Mereka masih banyak yang pergi berobat ke luar negeri, seperti cangkok kornea mata atau ginjal,†kata Pangesti yang juga pengajar Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra UNY itu.
Dr. Ir. Fitri Mardjono, M.Sc. dilahirkan di Boyolali, 9 April 1959. Ia meninggalkan seorang istri dam putri bernama Sachiko Mawaddah Lestari, yang bekerja di Departemen Perhubungan. Pendidikan almarhum, S-1 di Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM, S-2 di Engineering Department, Nagaoka University of Technology, Japan, S-3 diperolehnya dari Faculty of Architecture, Building and Planning Eindhoven of Technology, Netherlands.
Informasi yang berhasil dihimpun menyebutkan kasus ini memang bukan kasus yang pertama di Indonesia. Di FK Universitas Brawijaya (Unibraw) memiliki kadaver Budi Setiawan (75 tahun) yang mendonorkan seluruh tubuhnya pada 2003 lalu.
Berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, yang masih menjadi pro dan kontra, menyumbangkan kadaver di luar negeri sudah lazim. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, dikenal ahli fisika asal Jerman Albert Einstein, penemu teori relativitas 100 tahun lalu yang juga menyumbangkan jasadnya untuk ilmu pengetahuan. Konon, otak Einstein paling banyak diteliti karena kejeniusannya. (Humas UGM/Satria AN)