YOGYAKARTA-Demokratisasi rekrutmen politik terhadap kepala daerah mendesak untuk dilakukan. Rekrutmen kandidat harus melibatkan anggota partai sehingga kedaulatan anggota terhadap partai dapat terealisasi sekaligus memperkuat ikatan anggota dengan partai politik. Selain itu, proses rekrutmen kepala daerah harus berhenti di level lokal. Struktur di atas sebatas melakukan supervisi atau melakukan veto apabila ada kondisi-kondisi tertentu yang membutuhkan intervensi struktur partai di atasnya. “Sentralisasi pengambilan keputusan proses kandidasi ini ada di level nasional dilakukan oleh elit, agen atau pemimpin partai,†kata staf pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, Sigit Pamungkas, S.I.P., M.A., dalam diskusi Politik Rekrutmen Kepala Daerah, yang diadakan di Gedung PAU Sayap Timur, Selasa (19/7). Selain Sigit, hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut Sekretaris Umum DPW PKB DIY, Umar Masdar.
Apa yang dikemukakan Sigit merupakan rangkaian penelitiannya terhadap 9 partai politik di DIY yang lolos electoral threshold pada Pemilu 2009 silam, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP. “Untuk PKB, data justru baru sekarang ini kita peroleh dari Mas Umar, sedangkan Hanura masih dalam proses pengiriman dari Jakarta,†imbuhnya.
Ia juga sependapat bahwa buruknya kepemimpinan kepala daerah sebagian memang disumbang oleh buruknya model rekrutmen kepala daerah yang dimiliki partai politik. Model rekrutmen kepala daerah yang ada tidak mampu memastikan orang-orang terbaik untuk tampil menjadi kepala daerah. Mendagri bahkan sempat mengemukakan data sekitar 17 gubernur berstatus tersangka dan 155 bupati/walikota sedang menjalani proses hukum. “Belum lagi data yang menunjukkan maraknya pencalonan dari anak atau istri incumbent menjadi kepala daerah. Ini menyiratkan buruknya kemampuan model rekrutmen kepala daerah oleh parpol untuk melahirkan individu terbaik,†katanya.
Di samping persoalan sentralisasi pengambilan keputusan, beberapa persoalan lain yang dijumpai dalam penelitian itu ialah persoalan birokrasi kandidasi, kegagalan kaderisasi partai, dan spektrum waktu kandidasi. Sejauh ini, menurut Sigit, rekrutmen kandidat adalah milik birokrasi partai. Anggota partai yang sering disebut sebagai pemilik kedaulatan partai sekadar menjadi penonton atas proses yang berlangsung dalam birokrasi partai.
Terkait kaderisasi partai, partai politik terlihat gagal. Parpol tidak memiliki stok orang yang cukup atau individu-individu yang siap atau bahkan partai sendiri tidak bersedia mempromosikan orang-orang yang dimilikinya karena alasan-alasan tertentu. “Maka bisa kita lihat, parpol justru terang-terangan mencalonkan kandidat dari kader parpol lain,†imbuhnya.
Sementara itu, Sekretaris Umum DPW PKB DIY, Umar Masdar, mengakui adanya kendala untuk mengelola partai politik secara ideal sebagaimana harapan banyak masyarakat. Beberapa kendala khususnya yang masih ditemui di PKB, antara lain, persoalan minimnya SDM yang andal serta pendanaan yang kurang memadai. “PKB yang basisnya lebih banyak NU mungkin di Jawa unggul dan mudah cari SDM buat kandidat kepala daerah, tapi kalau luar Jawa, seperti Papua, kita masih kesulitan,†terang Umar yang pernah menjadi anggota tim monitoring DPP PKB tersebut.
Meskipun demikian, ia menilai PKB saat ini lebih fleksibel dan terbuka terhadap adanya perubahan dibandingkan ketika dipimpin oleh Gus Dur. Hal ini cukup berdampak pada pemilu kepala daerah yang dimenangkan oleh calon dari PKB. “Ya, meskipun kita bukan partai 3 besar, tapi setidaknya sekarang ada 58 gubernur, bupati, atau walikota di Indonesia yang berasal dari PKB,†pungkasnya. (Humas UGM/Satria AN)