YOGYAKARTA-Jangan pernah takut bermimpi! Saat kita mempunyai kemauan dan kerja keras, akan selalu ada jalan untuk meraih mimpi. Kalimat-kalimat itu patut kita resapi dan jalankan dalam kehidupan sehari-hari. Pesan itu mengajak kita untuk bersemangat dalam belajar, bekerja, dan berkarya guna meraih cita-cita.
Ini pula yang ternyata menjadi inspirasi bagi seorang Agung Bhaktiyar (24 tahun). Ia adalah dokter lulusan Fakultas Kedokteran (FK) UGM yang baru saja dilantik pada 8 Juli lalu. Lantas, apa yang membedakan Agung dengan dokter-dokter lulusan FK UGM lainnya?
Pria kelahiran Yogyakarta, 30 Juni 1987 ini adalah anak Suyatno (63 tahun), seorang penarik becak, dan Saniyem (59 tahun), yang sehari-hari menjadi pengepul barang-barang rongsokan di sekitar Pasar Terban. Pekerjaan mulia yang mungkin oleh sebagian kalangan dilihat sebagai profesi masyarakat kelas bawah. Nah, meskipun berasal dari keluarga yang berpenghasilan pas-pasan, ternyata tidak menyurutkan tekad Agung untuk menyelesaikan studinya di FK UGM. “Saya bersyukur bisa menyelesaikan studi di FK UGM dan dilantik menjadi dokter hampir dalam waktu enam tahun,†kata Agung ketika dijumpai di rumahnya, Terban GK/V/No 719, Rabu (20/7) pagi.
Dalam kesempatan itu, Agung tampak santai mengobrol di rumahnya yang berdinding bambu dan bersekat triplek. Ia juga terlihat rapi dengan baju dan celana hitam lengkap dengan kacamata. “Ini nanti saya juga mau ada pertemuan IDI di Wates, Kulon Progo, Mas,†tambahnya.
Diselingi dengan guyonan, Agung kembali bercerita asal-mula dirinya memilih menempuh pendidikan dokter di FK UGM. Agung menjelaskan ketika menjadi siswa di SMAN 6 Yogyakarta, ia belum terpikir untuk menjadi seorang dokter. Justru profesi tersebut tidak disukainya. Ia lebih senang dengan bidang teknik. Profesi dokter, menurut Agung saat itu, hanya lebih mengedepankan prestise semata. “Kan banyak dokter, tapi ya itulah… Kadang polah tingkahnya itu tidak mencerminkan jati diri dokter. Hanya prestise saja yang ditonjolkan,†kisah Agung.
Oleh karena itu, setelah lulus SMA Agung pun mencoba untuk melanjutkan studi di UGM dengan memilih Fakultas Farmasi dan Fakultas Pertanian melalui jalur Ujian Masuk (UM). Namun, usaha itu gagal. Kegagalan masuk UGM ini sempat menjadi beban tersendiri bagi Agung. Apa sebab? Ternyata selama studi di SMAN 6, dirinya masuk sebagai siswa berprestasi, bahkan sempat berada pada ranking satu.
Tidak ingin berlama-lama larut dalam kegagalannya, Agung kemudian mencoba lagi masuk UGM melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Kali ini ia memilih Jurusan Pendidikan Dokter serta Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan. Melalui jalur SPMB ini akhirnya ia berhasil lulus pada pilihan pertama di Fakultas Kedokteran. “Saya bingung karena sebelumnya saya sama sekali tidak suka profesi dokter, tapi orang tua tetap mendorong agar kuliah diteruskan,†tutur bungsu dari empat bersaudara ini.
Pada tahun pertama kuliah, ia mengaku bingung dengan perkuliahan di FK UGM. Penyebabnya ialah mata kuliah yang diajarkan ternyata tidak hanya bidang eksakta, tetapi lebih banyak di bidang sosial. Padahal, sejauh ini Agung lebih senang mempelajari bidang eksakta, seperti Fisika. “Tahun pertama, sempat bingung dan sempat mau keluar juga,†ujarnya.
Namun, kondisi itu tidak berlangsung lama. Kecintaannya pada profesi dokter akhirnya muncul. Ketika itu, ia sempat bertemu dengan beberapa penderita kanker darah dan tumor rahim yang didatangkan ke FK UGM. Dari dialog dan pertemuan itu akhirnya Agung tahu bahwa profesi dokter ternyata sangat mulia, yakni membantu sesama yang tengah tertimpa sakit. Dari munculnya empati tersebut, lambat-laun Agung dapat menyesuaikan dengan mata kuliah yang diajarkan. Nilainya pun dari hari ke hari semakin bagus. Bahkan, hingga lulus IPK-nya mencapai 3,51.
Agung juga bercerita meskipun berasal dari keluarga pas-pasan, selalu saja ada rezeki yang kadang-kadang tidak terpikirkan sebelumnya. Ia mencontohkan adanya beberapa beasiswa yang diperoleh dari FK UGM, seperti beasiswa BBM sehingga sejak ia masuk kuliah hingga dilantik menjadi dokter, kurang lebih sekitar 12 semester, biaya SPP dan BOP bisa terbayarkan. “Dulu memang untuk SPMA memang saya pilih yang nol karena latar belakang keluarga. Dari hasil wawancara, pihak Fakultas akhirnya menyetujui. Tapi untuk SPP dan BOP saya tidak minta keringanan. Prinsipnya, jika kita mampu jangan sampai meminta keringanan,†katanya mantap.
Menurut Agung, selama studi di FK ternyata cukup berkesan. Teman-teman, kakak angkatan, dan dosen kompak dan sangat membantu studi. Agung menilai asalkan selama studi tidak kurang pergaulan (kuper), tentu banyak kemudahan yang akan diperoleh, baik itu tentang meminjam buku pelajaran hingga laptop milik teman. Dengan begitu, akan banyak biaya yang dapat ditekan selama studi.
Kini, ketika telah menyandang gelar dokter dan menjalani program internship (magang) di RSUD Kulon Progo, Agung masih bercita-cita untuk mengambil program spesialis atau mengambil program PTT di luar Pulau Jawa yang masih minim tenaga dokter. “Spesialisnya belum terpikir mau ambil apa, Mas. Kalau tidak bisa, ya PTT di luar Jawa yang masih kurang tenaga dokter,†imbuh Agung.
Di akhir perbincangan, Agung kembali meyakinkan agar para orang tua tidak ragu-ragu untuk memasukkan anak-anaknya berkuliah di UGM. Program dana subsidi silang dari yang mampu disalurkan kepada yang tidak mampu terbukti berjalan bagus, setidaknya di FK UGM. “Jadi, ya masuk ke UGM dulu saja. Yang lain-lain, termasuk biaya, bisa dicarikan solusi kok. Asal jangan lupa tetap semangat belajar,†pesan Agung.
Selamat, Agung! Semoga semangatmu dapat menjadi inspirasi bagi mahasiswa UGM lainnya untuk belajar dan berkarya demi masa depan yang lebih cerah. (Humas UGM/Satria AN)