YOGYAKARTA-Tradisi publikasi karya ilmiah atau penelitian di Indonesia dinilai belum terbentuk dan mengakar dengan baik. Sebagai contoh, masih banyak mahasiswa yang memfotokopi buku dari dosen. Akibatnya, buku pun menjadi bahan bajakan. Hal tersebut dikemukakan oleh Kepala Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi FK UGM, Prof. drg. Etty Indriati, Ph.D., dalam Workshop Penulisan Paper Jurnal Internasional, yang diselenggarakan oleh LPPM UGM di Ruang Multimedia, Kantor Pusat UGM, Rabu (20/7). “Ini merupakan tantangan bagi para peneliti di Indonesia agar karya mereka bisa terpublikasi dan terus mengakar,†kata Etty.
Di samping itu, Etty menilai beberapa tantangan lain yang masih dijumpai ialah kurang memadainya dukungan teknologi informasi (TI) sehingga memunculkan keterbatasan referensi klasik, langka, dan tidak adanya interlibrary loans. Di sisi lain, persoalan dana yang terbatas atau bidang yang didanai spesifik proyek, bahasa Inggris kadang tidak semua peneliti menguasainya dengan baik. “Yang harus diingat, ilmuwan/peneliti adalah produsen ilmu pengetahuan. Tanpa publikasi, ‘produk’ tidak terdokumentasi dan terakses secara luas dan tidak dikenal posisinya secara internasional,†imbuh Etty.
Di hadapan peserta workshop, Etty menambahkan untuk mencapai posisi/pengakuan internasional banyak cara yang bisa ditempuh, antara lain, perlu bekerja keras menulis proposal penelitian, melamar dana penelitian, melakukan penelitian, dan mempublikasikannya di jurnal internasional. Kerja sama dengan posisi sejajar dengan ilmuwan sebidang di luar negeri, menurut Etty, juga perlu dilakukan. Yang tidak kalah penting adalah mencoba mempresentasikan hasil riset di seminar internasional perhimpunan kepakaran sebidang. “Berusaha menjadi penulis pertama di jurnal internasional bisa menjadi jalan posisi kita diakui di dunia internasional,â€katanya.
Sementara itu, staf pengajar Jurusan Kimia, FMIPA UGM, Prof. Drs. Mudasir, M.Eng., Ph.D., dalam kesempatan tersebut mengakui rendahnya kontribusi peneliti Indonesia di kancah internasional. Ia mengambil data dari Scientific American Survey (1994) yang menyebutkan kontribusi tahunan Scientist dan Scholars Indonesia pada pengetahuan (knowledge), sains, dan teknologi hanya 0,012%. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan kontribusi Singapura yang mencapai 0,179%. “Dan sangat tidak signifikan dibandingkan dengan sumbangan ilmuwan AS yang mencapai lebih dari 20%,†tutur Mudasir.
Meskipun mengakui masih rendahnya minat menulis artikel ilmiah, Mudasir tetap memberikan dorongan agar budaya menulis harus terus dicoba mulai sekarang. Banyak alasan budaya menulis harus ditumbuhkan, diantaranya ialah memaksa sesorang bekerja lebih keras dan memperoleh hasil yang baik. Selain itu, sekaligus membantu merumuskan hasil penelitian yang sedang dikerjakan dan merencanakan langkah selanjutnya dari penelitian tersebut.
Acara workshop yang berlangsung selama dua hari, 20-21 Juli 2011, ini diikuti oleh sekitar 70 peserta, yang berasal dari fakultas dan pusat studi di UGM, juga peserta dari luar UGM. (Humas UGM/Satria AN)