Indonesia merupakan negara yang memiliki pekerja migran dalam jumlah yang cukup besar. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyebutkan pekerja migran berjumlah 126.031 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 78,05% (98.372) adalah pekerja perempuan.
Fenomena itu mengandung hakikat perlindungan hak-hak asasi perempuan karena besarnya jumlah perempuan migran, terutama di kawasan Timur Tengah dan Afrika. “Di kawasan tersebut sering dijumpai kasus pelanggaran terhadap hak-hak asasi perempuan pekerja migran Indonesia, seperti pelecehan seksual, penganiayaan, gaji tidak dibayar maupun PHK secara sepihak. Hal ini harus jadi perhatian pemerintah. Sayangnya, dalam berdiplomasi yang menyangkut perlindungan perempuan pekerja migran di Arab Saudi maupun negara lainnya masih bersikap reaktif. Idealnya, diplomasi dilakukan dengan by design dan dengan kreatif,“ kata Prof. Dr. Agustinus Supriyanto saat dikukuhkan dalam Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, Kamis (21/7), di Balai Senat UGM.
Menurutnya, Indonesia dapat belajar dari Filipina yang menempatkan pekerja migran Filipina (Filow) hanya di negara-negara yang dapat melindungi hak para filow. Melalui perwakilannya di luar negeri, Deplu Filipina memberikan perlindungan terhadap filow melalui kerja sama dengan lembaga asing terkait. Dengan begitu, filow sejak awal sudah dalam pengawalan diplomasi Filipina. “Agar sejak awal perlindungan perempuan pekerja migran Indonesia diperjuangkan secara diplomatik, perlu adanya perubahan dalam mengelola pekerja migran. Belajar dari Filipina, sebaiknya pengelolaan tidak dimonopoli oleh Depnakertrans dan BNP2TKI, tetapi dikelola secara lintas sektoral,†jelasnya.
Agustinus menyebutkan untuk memberikan perlindungan pekerja migran Indonesia juga dapat dilakukan dengan memperbanyak dan memperkuat kelembagaan kekonsuleran dengan kantor di wilayah-wilayah yang banyak perempuan pekerja migran Indonesia. Sebagai perbandingan, Meksiko yang memiliki banyak pekerja migran membuka 50 kantor konsuler di AS. Selain itu, para pejabat lintas sektoral terkait juga dipersiapkan dengan perspektif HAM berbasis gender dan kepedulian terhadap perempuan pekerja migran yang rentan menjadi korban pelanggaran HAM.
Dalam pidato pengukuhan berjudul Perlindungi Hak-Hak Asasi Perempuan Pekerja Migran: Peluang dan Tantangan Indonesiaâ€, Agustinus menekankan pentingnya ratifikasi terhadap konvensi migran 1990 untuk melindungi pekerja migran Indonesia. Lebih dari 20 tahun, Indonesia tidak memanfaatkan peluang perlindungan HAM bagi pekerja migran yang disediakan oleh Konvensi Migran 1990.
Ratifikasi yang dilakukan merupakan condition sine qua non (persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum) bagi terciptanya kondisi yang kondusif untuk perlindungan hak asasi perempuan pekerja migran Indonesia. “Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi konvensi tersebut dengan alasan bahwa negara-negara penerima pekerja migran sendiri banyak yang belum meratifikasinya. Padahal, dengan melakukan ratifikasi konvensi migran 1990 dapat meningkatkan posisi tawar dalam diplomasi memperjuangkan hak asasi pekerja migran,†kata pria kelahiran Salatiga, 24 Oktober 1966 ini.
Lebih lanjut disampaikan Agustinus bahwa penting untuk menggunakan perspektif hak asasi manusia berbasis gender dalam melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Selain itu, pada level individual, perempuan pekerja migran perlu diberdayakan dan pada level negara perlu diupayakan leverage politik dan diplomatik. “Kepekaan gender ini harus tertuang dalam berbagi kebijakan pada level mikro dan makro sedemikian rupa hak-hak spesifik yang dimiliki dan diperlukan perempuan dapat diwujudkan,†tuturnya. (Humas UGM/Ika)