Staf pengajar Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA) Yogyakarta, Ifa Aryani, mengatakan saat ini masih ditemui berbagai pembedaan-pembedaan dalam mendidik dan mengasuh anak di tengah masyarakat. Hal itu sering merugikan salah satu jenis kelamin dan berdampak pada kehidupan kelak. Oleh karena itu, pendidikan anak bias gender sudah saatnya dihilangkan. “Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan dengan jumlah kapasitas otak yang sama, sekitar 150 juta juta sel-sel otak. Dengan kondisi demikian, setiap anak sesungguhnya memiliki kesempatan yang sama untuk dididik dan diasuh secara adil oleh orang tua, guru dan siapapun,” katanya di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Kamis (21/7).
Menjadi pembicara dalam Seminar Implementasi Pendidikan Adil Gender pada Anak, yang digelar PSKK UGM, Ifa mengatakan anak semestinya diberikan kebebasan memilih alat permainan dan cara bermain di lingkungan PAUD dan TK. Baginya, perempuan tidak selalu identik dengan permainan boneka dan anak laki-laki identik dengan mobil-mobilan. Selanjutnya, perempuan melakukan peran-peran domestik dan laki-laki melakukan berbagai peran publik. “Masih saja kita temui bahan ajar yang menunjukkan bias gender dan pola relasi serta pendekatan guru pada anak yang diskriminatif. Kondisi ini cukup memprihatinkan,” terangnya.
Padahal dalam kehidupan nyata, seorang perempuan semestinya dapat juga memperbaiki listrik dan seorang lelaki bisa bekerja di dapur memasak sebab tidak sedikit wanita menjadi polisi dan berkecimpung di dunia militer, sedangkan laki-laki menjadi juru masak bertaraf internasional.
Pembedaan ini, menurut Ifa Aryani, berdampak pula pada pemberian gizi anak. Anak laki-laki terkadang mendapatkan asupan gizi lebih baik daripada perempuan sehingga tak jarang mengakibatkan anak perempuan cenderung lemah, kurang berinisiatif, dan pasif. “Anak laki-laki pun lebih sulit berempati dan sulit mandiri untuk berbagai tugas domestik,” tutur Ifa.
Sebagai solusi, Ifa berharap anak laki-laki dan perempuan dilatih untuk mengerjakan tugas-tugas domestik secara adil sebab tugas domestik bukanlah kodrat perempuan. Para orang tua dapat melakukan pola komunikasi, pengawasan, dan nasihat sesuai dengan kebutuhan karena anak laki-laki dan perempuan secara fisik berbeda, tetapi memiliki kesempatan yang sama. “Hindari tindak kekerasan, baik fisik, mental, ekonomi dan seksual. Tidak selalu jika memperingatkan anak laki-laki harus dengan bentakan atau sebaliknya anak perempuan dengan kelembutan,” katanya.
Mendidik dan mengasuh secara adil dapat dilakukan sejak hamil. Apapun calon janin mestinya diberikan perhatian yang sama. Pun dalam pemilihan asesoris, baju, dan lain-lain dengan berbagai macam variasi warna tertentu untuk jenis kelamin tertentu. Baik anak perempuan maupun laki-laki diberi pilihan berbagai jenis mainan. “Yang penting juga adalah belajar mendengarkan anak. Mestinya dihindarkan pandangan bila anak cewek selalu identik warna pink dan cowok lebih lebih cocok warna biru,” jelasnya. (Humas UGM/ Agung)