Pengeluaran publik Indonesia untuk sektor kesehatan telah meningkat pesat. Berdasarkan perhitungan, total pengeluaran publik untuk kesehatan telah meningkat empat kali lipat dari 9,3 trilyum pada tahun 2001 menjadi 39 trilyun pada tahun 2007, yanng untuk pertama kalinya melebihi satu persen dari PDB.
Demikian dikemukakan pakar kesehatan UGM Prof dr Laksono Trisnantoro MSc PhD dalam seminar “Berinvestasi dalam Kesehatan Indonesia: Tantangan dan Peluang untuk Pengeluaran Publik di Masa depanâ€, Sabtu (28/6) di Ruang Senat Fakultas Kedokteran UGM.
Meskipun terdapat peningkatan yang substansial dalam pengeluaran publik untuk sektor kesehatan dalam beberapa tahun terakhir, secara keseluruhan pengeluaran sektor kesehatan di Indonesia diakui Laksono masih tergolong rendah, belum merata antar provinsi, dan berbagai analisis juga menunjukkan adanya banyak inefisiensi.
“Secara keseluruhan Indonesia mengeluarkan kurang dari 3 persen dari PDB-nya terdiri 2 persen pengeluaran swasta dan satu persen pengeluaran pemerintah. Sebaliknya Vietnam, Filipina, malaysia dan kebanyakan negara tetangga lain mengeluarkan jumlah yang lebih besar dari itu,†katanya.
Laksono mengatakan belum merata pengeluaran sektor kesehatan di Indonesia dapat dilihat dari indikator kesehatan rata-rata lebih baik di Jawa Bali, sedangkan Indonesia bagan Timur masih tertinggal.
“Sebagai contoh, di Bali dan Yogyakarta tidak sampai 25 dari 1000 anak meninggal sebelum ualang tahun kelima merreka, sedangkan di Gorontalo hampir 100 dari 1000 anak meninggal sebelum mencapai umur lima tahun,†katanya.
Sementara pakar Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Dr Wihana Kirana Jaya, MSc mengungkapkan sejauh ini desentralisasi telah gagal mewujudkan seluruh potensinya dalam memperbaiki layanan kesehatan.
“Dalam peraturan kepegawaian negeri dan desentralisasi yang berlaku saat ini, pemerntah daerah memiliki kewenangan yang terbatas dalam mengelola staf, termasuk dalam hal ini pekerja kesehatan,†ujarnya.
Kurangnya kewenangan dan pertanggungjawaban daerah ini menghambat pengembangan tenaga kerja kesehatan yang lebih efisien dan terdistribusi di tingkat kabupaten, yang mengakibatkan beberapa pusat kesehatan kelebihan pekerja sedangkan di pusat kesehatan lain kekurangan pekerja.
Di samping itu, Wihana juga menyoroti tentang penggunaan subsidi negara dan biaya pemakai untuk membiayai penyediaan layanan kesehatan bagi masyarakat telah menghasilkan dampak buruk atas pemerataan dalam sektor kesehatan.
“Sampai saat ini, pengeluaran publik untuk sektor kesehatan secara umum lebih menguntungkan kelompok berpenghasilan lebih tinggi daripada masayarakat miskin melalui subsidi regresif bagi layanan kesehatan sekunder,†tandasnya.
Seminar yang diprakarsai oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM, HPEA dan Bank Dunia (World Bank) ini dibuka langsung oleh Dekan FK UGM Prof Dr dr Hardyanto Soebono SpK(K), menghadirkan nara sumber lain, Pandu Harimurti dan Elif Yavuz dari lembaga World Bank, Prof Dr Syed Mohamed Aljunid dari United Nation University, Malaysia, Amien Subekti dari Deputi Perencanaan Keuangan BRR NAD-Nias. (Humas UGM/Gusti Grehenson)