YOGYAKARTA-Peran sektor swasta dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia dinilai masih minim. Sekitar 20 triliun rupiah dana CSR (Corporate Social Responsibility) yang terkumpul dari para pengusaha juga masih kecil alokasinya untuk digunakan dalam pengelolaan kawasan konservasi tersebut. Untuk itu, ke depan keberadaan Yayasan Konservasi Indonesia yang bekerja secara independen dan profesional dalam mengelola CSR sangat dibutuhkan.
“Meskipun kita sudah banyak dibantu melalui anggaran APBN, LSM, Bank Dunia, dsb., tetapi tetap saja anggaran masih kurang untuk mengelola kawasan konservasi tersebut,” kata Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Departemen Kehutanan, Ir. Darori, M.M., dalam Workshop Partnership: Peran Serta Swasta dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi, yang diadakan oleh Fakultas Kehutanan bertempat di Hotel Hyatt Regency Yogyakarta, Kamis (28/7).
Workshop yang dihadiri oleh para investor, birokrat, akademisi, praktisi, dan pemerhati pengelolaan kawasan konservasi ini berlangsung selama dua hari, 28-29 Juli 2011. Acara yang juga dihadiri oleh Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Prof. Dr. Ir. Mochammad Na’iem, M.Agr.Sc., ini dibuka langsung oleh Wakil Rektor Bidang Alumni dan Pengembangan Usaha, Prof. Ir. Atyanto Dharoko, M.Phil., Ph.D.
Darori menambahkan keterbatasan anggaran pemerintah untuk pengelolaan kawasan konservasi itu secara langsung akan berdampak pada efektivitas pengelolaan kawasan tersebut. Ia mengakui meskipun telah banyak kawasan konservasi yang ditunjuk, pengelolaannya di lapangan banyak yang belum efektif karena keterbatasan pendanaan, kualitas, dan kapasitas SDM pengelola serta dukungan sarana dan prasarana pengelolaan yang kurang memadai. Indonesia telah mengalokasikan 27,2 juta hektar kawasan konservasi yang terdiri atas 521 unit. “Pemerintah baru sanggup menganggarkan dana sebesar USD 2,35 per ha pada tahun 2006, sementara pada tahun yang sama pemerintah AS telah menganggarkan USD 76,12 per hektar kawasan konservasi,” imbuhnya.
Sementara itu, Wakil Komisi IV DPR RI, Herman Khaeron dalam acara itu menilai pengelolaan kawasan konservasi seperti halnya mengurai benang kusut. Hanya saja, Herman menekankan pentingnya sisi pengawasan yang harus diperketat khususnya oleh pemerintah pusat sehingga tidak akan muncul kerusakan pada kawasan konservasi itu.
Herman menjelaskan DPR sejauh ini juga telah ikut berperan dalam pengelolaan kawasan konservasi, yakni melalui penambahan jumlah anggaran. Anggaran untuk pengelolaan kawasan konservasi naik dari tahun ke tahun. Di tahun 2012 mendatang, pemerintah bersama dengan DPR telah menyiapkan anggaran 1,5 triliun rupiah untuk pengelolaan kawasan konservasi. Herman juga berharap agar pemerintah bersama dengan pihak swasta tidak hanya mengedepankan fungsi ekonomi dalam pengelolaan kawasan konservasi, tetapi juga fungsi ekologi dan sosial. “Tahun 2006, kalau tidak salah anggarannya baru mencapai 600 miliar rupiah. Nah, di tahun 2012 mendatang kita siapkan 1,5 triliun rupiah dan ini rata-rata setiap tahunnya naik,” tutur Herman.
Prof. Dr. Ir. Chafid Fandeli, M.S., staf pengajar Bagian Konservasi Sumber Daya Hutan, mengatakan pemaknaan privatisasi kawasan konservasi seharusnya mencakup beberapa hal, yakni seluruh fungsi dan manfaat kawasan harus terjamin dalam kondisi bagus, memberi kesejahteraan bagi masyarakat, memberi nilai ekonomi untuk meningkatkan kualitas kawasan, dan memberi sumbangan pembangunan. Chafid juga menyinggung privatisasi Taman Nasional sebagai salah satu langkah konservasi kawasan. Selama ini, Taman Nasional merupakan kawasan yang disebut dengan basket benefit, yang belum seluruhnya dikenali dan dimanfaatkan. “Taman Nasional merupakan kawasan konservasi yang memiliki peran penting dalam menjaga eksistensi ekosistem dengan biodiversitasnya dan menjadi representasi ecotype tertentu,”jelas Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM ini.
Terkait dengan peran pihak swasta dalam pengelolaan kawasan konservasi, David Makes selaku CEO Sustainable Management mengemukakan adanya beberapa kendala. Kendala itu, antara lain, masih dijumpainya aturan yang tumpang-tindih antara pemerintah pusat dan daerah serta pungutan ‘ganda’ yang memberatkan. “Kadang dengan bergulirnya otonomi daerah ada aturan yang tumpang-tindih antara pusat dan daerah. Padahal, untuk konservasi kawasan tersebut merupakan wewenang pemerintah pusat. Belum lagi kalau kita bicara adanya pungutan yang masih memberatkan,” ujar David. (Humas UGM/Satria AN)