Adanya sejumlah perubahan regulasi di bidang kesehatan, terutama kefarmasian, pada dua tahun terakhir memberikan angin segar bagi eksistensi profesi apoteker dalam melakukan pelayanan kefarmasian. Perubahan regulasi tersebut menimbulkan konsekuensi bagi apoteker yang pada awalnya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi berubah menjadi kegiatan pelayanan yang komperehensif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Beberapa regulasi yang dimaksud ialah UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, PP Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, dan Permenkes Nomor 889/Menkes/ Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI), Drs. M Dani Pratomo, M.M., Apt., menyebutkan perubahan peran apoteker ke arah asuhan kefarmasian merupakan faktor penting dalam proses reformasi kesehatan. Dengan pergeseran orientasi profesi apoteker ke arah praktik kefarmasian, para apoteker selain harus mampu menerapkan kompetensinya di bidang farmasi, juga dituntut untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lain secara aktif dan berinteraksi langsung dengan pasien. “Untuk meningkatkan mutu layanan, maka apoteker harus senantiasa memelihara kompetensi dan menyuguhkannya secara profesional,“ kata Dani di Fakultas Farmasi, Kamis (28/7), dalam Seminar ‘Strategi Apoteker dalam Menghadapi Perubahan Regulasi dan Perkembangan Pelayanan Terkini di Apotek’.
Agar apoteker dapat menjaga profesionalisme dalam berpraktik, diperlukan unsur “pemaksaâ€, yakni continuing professional development (CPD). Cara ini merupakan upaya pembinaan bersistem untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap apoteker. Adapun arena CPD meliputi kegiatan praktik profesi, pembelajaran, pengabdian masyarakat, publikasi ilmiah, dan pengembangan ilmu. “CPD dalam PP Nomor 51 tahun 2009 ini adalah dengan mensyaratkan apoteker untuk memiliki surat tanda registrasi apoteker untuk dapat menjalankan praktik kefarmasian,” jelasnya.
Dengan adanya sejumlah regulasi tersebut, tidak ada pilihan lain bagi apoteker Indonesia kecuali menjadi apoteker sesuai dengan UU Nomor 36 tahun 2009 dan PP Nomor 51 tahun 2009. Untuk itu, diperlukan sejumlah persiapan, seperti menyiapkan apoteker yang memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) dan menyiapkan program pelatihan praktis tentang pelayanan apoteker di apotek.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DIY, Dr. Saminto, M.Kes., dalam kesempatan tersebut mengatakan bagi apoteker yang telah memiliki surat penugasan atau SIK sebelum PP Nomor 51 tahun 2009 berlaku tetap dapat menjalankan profesi kefarmasiannya. Demikian halnya untuk tenaga teknis kefarmasian. Selanjutnya, apoteker wajib mengganti surat penugasan dengan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) paling lambat 31 Agustus 2011. Untuk mendapatkan STRA, apoteker harus memiliki ijazah apoteker, sertifikat kompetensi, dan telah melakukan sumpah profesi apoteker. (Humas UGM/Ika)