YOGYAKARTA – Budaya seni ukir perak di Kotagede, Yogyakarta, terancam hilang. Hal itu disebabkan oleh minimnya generasi pengrajin yang memiliki keahlian seni ukir perak yang berkualitas tinggi. Padahal, budaya itu di Kotagede pernah mengalami masa keemasan pada 1910-an ketika dipesan orang-orang Belanda. Bahkan, sedikitnya 800 item koleksi desain produk perak Kotagede masih tersimpan utuh di Museum Tropen, Rotterdam. “Pasar perak, saya kira tetap masih ada, tapi untuk budaya seni ukir perak yang kita khawatirkan terancam punah,†kata Drs. Priyo J. Salim, pemilik Salim Silver, Kotagede, dalam kegiatan pengembangan desa wisata mandiri berbasis potensi UMKM di Desa Basen, Kotagede, Rabu (27/7) malam. Kegiatan diprakarsai oleh mahasiswa KKN PPM UGM unit 61 RW 04 Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Yogyakarta.
Priyo J. Salim, yang juga alumnus Fakultas Geografi UGM tahun 1987, menyebutkan beberapa produk perak yang tersimpan di Belanda berupa dalam alat-alat masak, pengering tinta, box, vas bunga, botol wisky, dan gurda lama. “Produk perak kuno asal Kotagede ini memiliki desain yang sangat indah, mungkin saat itu membuat perak dengan sepenuh jiwa dan keindahan. Jika saat ini membuat perak hanya untuk memenuhi pesanan,†katanya.
Menurutnya, minimnya order ukir perak dalam bentuk yang telah disebutkan itu menyebabkan hasil desain perak Kotagede tidak memiliki nilai seni yang cukup tinggi dibandingkan dengan desain produk perak kuno pada awal abad ke-20. Selain minimnya generasi pengrajin perak, diterapkannya pajak PPN sebesar 10 persen untuk produk perak menjadikan harga perak lebih mahal daripada produk negara lain di pasar luar negeri. “Dengan PPN 10 persen justru mematikan budaya tertentu, salah satunya budaya perak ini,†ujarnya.
Untuk itu, ia mengusulkan perlu adanya pemikiran penerapan seni ukir perak dalam bentuk lain, misalnya perhiasan, dan penghargaan bagi pekerja seni ukir perak serta pencabutan PPN 10 persen untuk produk perak sehingga dapat menggairahkan kerajinan perak Kotagede dan di Indonesia.
Nisa Agistiani Rachman, salah satu mahasiswa peserta KKN PPM, mengatakan pihaknya telah mencanangkan pengembangan desa wisata mandiri berbasis potensi UMKM di Desa Basen, Kotagede. Salah satunya ialah mendorong 69 pengrajin perak di kelurahan tersebut untuk menggeluti kerajinan seni ukir perak yang selama ini ditinggalkan karena minimnya pesanan dari luar negeri. “Kita juga coba bantu lewat pemasaran melalui website,†katanya.
Waris Sumarwoto, Lurah Purbayan, menyambut gembira atas inisiatif mahasiswa KKN PPM dalam pengembangan desa wisata. Ia menuturkan Desa Basen baru-baru ini sudah ditetapkan sebagai kampung wisata. “Utara Basen bisa ditonjolkan kuliner dan kerajinan perak. Kalau sebelah selatan, ada objek wisata peninggalan Kerajaan Mataram sehingga bisa menjadi kampung wisata yang bisa diandalkan,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)