
Para pengguna informasi laporan keuangan memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Akibat kepentingan yang berbeda memaksa penyedia laporan keuangan menghadapi trade-off antara relevansi dan reliabilitas sebagai karakteristik kualitatif isi informasi laporan keuangan.
Menurut Drs. Ibnu Qizam, S.E., M.Si., Akt., dalam praktik, relevansi dan reliabilitas tidak mungkin dapat ditampilkan bersama-sama secara maksimum terhadap suatu objek informasi dalam pelaporan keuangan. Dengan demikian, yang memungkinkan ialah kondisi optimal yang pada saat tertentu hanya salah satu karakteristik (relevansi atau reliabilitas) yang mungkin lebih ditekankan dengan mengorbankan karakteristik lainnya. “Akuntansi yang sebagian besar mendasarkan diri pada nilai historis, misalnya dalam mengukur aset, merupakan salah satu contoh bagaimana akuntansi mengorbankan nilai relevansi untuk meningkatkan reliabilitas,” ujarnya di Auditorium BRI, Program M.Si. dan Doktor FEB UGM, Jumat (29/7).
Staf pengajar Program Studi Keuangan Islam Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini mengatakan hal tersebut saat menempuh ujian program doktor UGM. Promovendus mempertahankan disertasi ‘Nilai Ekonomik Risiko Informasi Laporan Keuangan dan Relevansi Risiko Fundamental’, dengan promotor Prof. Dr. Jogiyanto H.M., M.B.A. dan ko-promotor Dr. Hardo Basuki, M.Soc., Sc.
Dikatakannya bahwa jika hanya menekankan reliabilitas dalam pengukuran, pengakuan dan penyajian data akuntansi, berimplikasi pada tingkat kebermanfaatan laporan keuangan yang semakin berkurang sebab laporan keuangan menjadi tidak relevan. Akibatnya, akan ada informasi keuangan yang muncul dari media lain selain laporan keuangan yang dihasilkan akuntan. Sebaliknya, jika hanya menekankan relevansi dalam pengukuran, pengakuan dan penyajian data akuntansi, para pengguna laporan keuangan tidak lagi percaya pada informasi yang disampaikan karena pengukuran, pengakuan dan penyajian data akuntansi tidak dapat diuji kebenarannya. “Mengandung bias dan tidak tepat dalam penyimbolan pos-pos dalam laporan keuangan. Akibatnya, laporan keuangan juga menghadapi kendala kebermanfaatan bagi pengguna,” katanya.
Contoh konkret bagaimana akuntansi mengorbankan nilai relevansi untuk menekankan reliabilitas dapat dilihat pada laporan hasil survei Interbrand. Disebutkan bahwa Coke diperkirakan memiliki nilai brand sebesar $72,5 miliar, yaitu merepresentasikan 51% dari nilai kapitalisasi pasar total sahamnya. Nike diperkirakan memiliki nilai brand sebesar $8 miliar, yang merepresentasikan 72% dari nilai kapitalisasi pasar. Kemudian, dua brand, Hertz dan Adidas, memiliki brand masing-masing 110% dan 151% dari nilai kapitalisasi pasar.
Contoh lain ialah pada akuntansi R & D, dilaporkan bahwa Microsoft diperkirakan mengeluarkan dana untuk R & D sebesar $3,8 miliar, dan Ciso mengeluarkan dana $2,7 milyar. “Tentu hasilnya adalah kedua perusahaan tersebut menjadi market leader sehingga biaya R & D pada konteks ini sebenarnya investasi yang menciptakan ‘future economic benefits’ meski kenyataan neraca belum memberi ruang untuk biaya R & D sebagai pos investasi,” jelasnya.
Menyitir pendapat Entwistle dan Philips, pria kelahiran Jepara, 2 Januari 1968 ini menerangkan kesemuanya dianggap sepotong fenomena ‘gunung es’ aset tidak berwujud yang secara keseluruhan belum terungkap karena lagi-lagi menunggu sinyal reliabilitas yang memungkinkan masuk dalam laporan keuangan (neraca). Semua itu menunjukkan bagaimana penyedia informasi laporan keuangan selalu menghadapi problem trade-off reliabilitas dan relevansi, tidak hanya karena keterbatasan pengukuran dan pengakuan di dalam sistim akuntansi, tetapi juga perubahan dan perputaran ‘hard asset’ dan ‘soft asset’ yang begitu cepat pada suatu perusahaan sesuai perubahan lingkungan bisnis yang ada.
“Dulu sebagian besar kekayaan perusahaan adalah aset nyata, seperti gedung dan mesin, sekarang aset gaib, maksudnya intangible asset seperti merk, citra perusahaan atau goodwill makin dominan. Apalagi evolusi perusahaan modern dengan konglomerasi yang melahirkan anak perusahaan, sewa-menyewa aset makin mengaburkan batas-batas tradisional perusahaan. Sistem akuntasi saat ini dianggap tidak mampu menangkap pesatnya perputaran uang perusahaan modern. Ini berarti kebergunaan keputusan informasi akuntansi kembali mendapat tantangan berat,” terang suami Emy Fatmawati, ayah tiga anak yang dinyatakan menjadi doktor ke-1440 yang diluluskan UGM. (Humas UGM/ Agung)