YOGYAKARTA-Pada era baru pariwisata saat ini, kemiskinan (poverty) justru bisa dimanfaatkan sebagai sebuah daya tarik pariwisata. Sama halnya ketika mengoptimalkan objek wisata yang sebenarnya memiliki potensi dasar, seperti horor atau peristiwa sejarah ‘kelabu’, misalnya lokasi kecelakaan Lady Diana, Lawang Sewu di Semarang atau Lubang Buaya di Jakarta. Hal ini dikemukakan oleh peneliti dari Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM, Drs. Hendrie Adji Kusworo, M.Sc., dalam Seminar ‘Era Baru Pariwisata: Sinergi antara Pendidikan, Penelitian dan Aksi’ di kantor Puspar UGM, Jumat (29/7). “Bagaimana kita bisa menempatkan dan memaksimalkan adanya kemiskinan (poverty) sebagai sebuah daya tarik pariwisata. Ini sebuah realita yang ada di tengah masyarakat dunia saat ini, termasuk Indonesia,†kata Adji.
Ia menambahkan dengan mengembangkan dan mengoptimalkan kemiskinan serta atributnya maka Indonesia bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan asing. Adji mengatakan peluang potensi pengembangan kemiskinan menjadi sebuah daya tarik pariwisata tidak hanya ada di Afrika Selatan, Brazil atau India, tetapi juga Indonesia. “Indonesia banyak, di Jakarta atau Yogyakarta misalnya. Lihat saja kawasan Kali Code dengan serba-serbi kehidupan masyarakatnya bisa dimanfaatkan sebagai objek pariwisata. Nah, dengan itu masyarakatnya juga akan memperoleh penghasilan tambahan pula,†tambahnya.
Untuk bisa menarik wisatawan berkunjung ke objek wisata ‘berbasis’ kemiskinan itu, perlu dibuat jejaring yang lebih intensif antara pemerintah dan pelaku pariwisata. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana dapat membangkit motivasi dan semangat wisatawan tersebut untuk berkunjung. “Maka perlu dibuat tentang profil objek wisatanya hingga kelengkapan yang bisa dijadikan daya tarik seperti lokasi shooping dll,†tuturnya.
Sementara itu dalam tulisannya, dosen program studi S2/S3 Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM, Prof. Dr. Janianton Damanik, M.Si., dan dosen Universitas Udayana Bali, Nyoman Sukma Arindra, M.Sc., mengangkat ancaman dari perkembangan pseudo-ekowisata (ekowisata seolah-olah) di Bali. Menurut mereka trend pseudo-ekowisata di Bali telah memberikan beberapa implikasi serius terhadap beberapa aspek masyarakat dan lingkungan alam Bali. “Implikasi itu bisa dilacak pada tiga dimensi, baik dimensi sosial budaya, dimensi lingkungan fisik, dan dimensi kebijakan,â€papar Nyoman.
Ditambahkan Nyoman, implikasi perkembangan pseudo-ekowisata di Bali terhadap kepariwisataan secara keseluruhan telah memunculkan persoalan yang pelik pada tingkat kebijakan maupun praksis di lapangan. Produk wisata pseudo-ekowisata telah ‘mengaburkan’ kredo dasar pariwisata budaya yang dianut oleh kepariwisataan di Bali sejak era 1970an. Beberapa produk pseudo-ekowisata yang ada di Bali secara sistematis telah memarginalkan keberadaan endemis khas yang menjadi kekayaan potensi sumber daya hayati lokal. Di samping itu kemunculan produk pseudo-ekowisata telah menambah persoalan sosial budaya di tingkat masyarakat akar rumput di Bali (Humas UGM/Satria AN)