YOGYAKARTA – Pengamat Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol UGM, Prof. Dr. Phil. Janianton Damanik, mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Pasalnya, puluhan juta rakyat Indonesia terancam kehilangan hak sosialnya akibat kelalaian negara dalam menyediakan jaminan sosial. Ditambah lagi, jutaan warga jatuh miskin karena sakit dan sama sekali tidak terproteksi oleh jaminan sosial yan layak dan seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
“Diulur-ulurnya pengesahan RUU BJPS tersebut juga akan semakin memperkuat anggapan dari berbagai elemen masyarakat bahwa pemerintah tidak serius memberlakukan perlindungan sosial bagi warga negara. Jika ini yang terjadi, maka negara telah mengalami kegagalan dalam memberikan perlindungan sosial bagi warganya,†kata Janianton dalam pidato Dies Natalis ke-54 Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM, Jumat (29/7).
Ia mengatakan polemik perdebatan yang berlarut-larut mengenai RUU perlu segera dihentikan. Menurutnya, semakin lama regulasi BPJS disahkan, semakin lama pula rakyat didera kemiskinan yang akut. “Harus ada kemauan pemerintah untuk mendahulukan kepentingan rakyat,†katanya.
Ia mencontohkan usulan pemerintah untuk membentuk dua BPJS harus diikuti dengan penyesuaian prinsip-prinsip BJPS status quo ke prinsip-prinsip BPJS yang dilahirkan oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Zona aman tersebut harus mampu mengubah kebijakan jaminan sosial dari yang bersifat prokepentingan politik ke prokepentingan kemanusiaan dan dari yang prokapitalis ke prorakyat. Di sisi lain, DPR juga harus mengalah untuk tidak memaksakan wadah tunggal BPJS, tetapi tetap konsisten menerapkan prinsip-prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional di dalam tatakelola BPJS.
Janianton Damanik juga mengemukakan alotnya perundingan RUU BPJS antara pemerintah dengan Pansus DPR ini tidak steril dari konflik kepentingan yang cukup tajam antara dua kubu terkait dengan otoritas pengelolaan dana jaminan sosial. Bahkan, isu transformasi kelembagaan BPJS berpotensi menggusur kewenangan salah satu pihak, tetapi memberikan keuntungan tersendiri bagi kubu lain.
Menurut Damanik, pemerintah yang diwakili kementerian BUMN menjadi lembaga yang paling keras menentang pemberlakukan RUU BJPS yang menekankan transformasi kelembagaan keempat BJPS yang sekarang. “Reaksi ini logis mengingat jika keempat perseroan terbatas (PT) dilebur, maka pemerintah dipastikan akan kehilangan peran dalam pengelolaan uang ratusan triliun rupiah yang masuk ke dalam PT tersebut,†katanya.
Sementara itu, kelompok elite di DPR yang gencar memelopori pengesahan RUU BJPS ditengarai memiliki kepentingan yang kurang lebih sama, dalam arti membuka peluang untuk menancapkan pengaruh di dalam struktur kelembagaan BPJS yang baru. “Disinyalir BPJS nantinya akan menjadi wadah tunggal yang baru akan menjadi alat untuk mobilisasi dana bagi kepentingan partai politik,†pungkas Damanik. (Humas UGM/Gusti Grehenson)