Studi-studi sosial tentang elite agama di Aceh menunjukkan keberadaan teungku dayah dalam masyarakat sangat sentral dan menentukan. Posisi sentral ini terkait dengan kapasitas mereka sebagai elite agama yang berpengetahuan luas dan berwibawa.
Menurut Nirzalin, dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, dalam kapasitas sebagai elite agama yang berpengetahuan luas, teungku dayah berperan sebagai pengajar agama Islam (religious teacher) dan dayah sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional masyarakat Aceh. Ia juga menjadi media terpenting dalam proses transformasi keilmuan Islam dan berfungsi pula sebagai instrumen utama bagi mereka dalam mengukuhkan kewibawaan, memperkuat kohesivitas sosial, melakukan tindakan agensi sosial-politik dan tindakan-tindakan keaktoran sosial lain antara dirinya, masyarakat, dan dunia luar.
“Namun, memasuki pertengahan era Orde Baru dalam situasi struktur yang tertutup dan represif, kewibawaan agensi politik teungku dayah mulai mengalami krisis di Aceh. Paradigma pembangunanisme yang diusung rezim ini mendorong mereka memilih bekerja sama dengan tiga komponen utama (triangle power), yaitu teknokrat sebagai pengendali birokrasi, pengusaha sebagai pendukung pertumbuhan ekonomi, dan militer yang menjadi tameng stabilitas keamanan. Tindakan rezim Orde Baru secara vulgar meminggirkan teungku dayah dari struktur dan agen pembangunan di Aceh,” terang Nirzalim baru-baru ini saat menempuh ujian terbuka program doktor Fisipol UGM.
Dalam struktur, menurut Nirzalin, peran mereka digantikan oleh para teknokrat dan dalam pembangunan digeser oleh para aparatur birokrasi yeng memiliki kemampuan teknis. Peminggiran peran teungku dayah dalam ranah sosial di Aceh pada periode Orde Baru ternyata tidak hanya dalam sektor pembangunan ekonomi, tetapi juga urusan politik. “Sikap phobia rezim Orba terhadap Islam di Indonesia yang secara politik dan historis sering melawan kemapanan kekuasaan pemerintah mendorong rezim ini melakukan standar ganda dalam memperlakukan umat Islam,” katanya di Auditorium Pascasarjana Fisipol UGM.
Dalam disertasi ‘Krisis Agensi Politik Teungku Dayah di Aceh’, Nirzalin menyampaikan di bawah jargon ‘Islam Ibadah Yes dan Islam Politik No’, rezim Orde Baru mempersulit ruang gerak pelbagai aktivitas Islam Politik dan pada saat bersamaan membuka ruang selebar-lebarnya terhadap Islam Ibadah. Dengan cara-cara seperti ini, rezim mematikan lawan politik utama mereka, yakni para aktivis Islam Politik, seperti teungku dayah. Namun, pada waktu yang sama pula, penguasa mengambil keuntungan melalui pembentukan citra yang seolah-olah “bersahabat” dengan Islam. “Hal ini terlihat terutama pada para penganut Islam di wilayah pedesaan yang masih kuat terikat logo atau simbolisme agama, logocentrism,” tutur suami Nurhida, ayah tiga anak ini.
Oleh karena itu, di samping lemah secara kapasitas wawasan, teungku dayah lemah pula pada sisi ekonomi. Dalam kenyataan, mereka bukan figur kaya yang mampu menghidupi sendiri dayahnya. Dalam posisi struktur lebih dominan daripada teungku dayah, hubungan penguasa Orde Baru dan teungku dayah tidak lagi dualitas seperti dua era sebelumnya, namun menjadi dualisme atau atas-bawah dengan struktur berada di atas teungku dayah atau agen.
Dalam posisi terdominasi, negara Orde Baru kemudian memanfaatkan teungku dayah untuk kepentingan simbolisme politiknya dalam menjustifikasi kebijakan-kebijakan politik mereka di Aceh. “Secara intensif, di bawah perilaku politik otoriter-birokratiknya, rezim Orde Baru memobilisasi teungku dayah untuk menjadi alat legitimasi dan justifikasi terhadap praktik pembangunanisme dan operasi militer dalam menumpas perlawanan Gerakan Aceh Merdeka di Aceh,” pungkasnya. (Humas UGM/ Agung)