YOGYAKARTA-Salah satu peninggalan tokoh pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara yang perlu terus dilestarikan adalah memunculkan jiwa berdikari, khususnya kepada anak didik. Menurut Ki Hadjar Dewantara, jiwa berdikari merupakan hasil tanaman jiwa merdeka lahir dan batin.
Pendidikan dan pengajaran diharapkan dapat mendorong anak didik untuk hidup mandiri, berdikari, dan berguna bagi diri pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan kemanusiaan. Dalam suatu kesempatan, Ki Hadjar Dewantara bahkan membuat kiasan yang tajam tentang hal ini, “Masa, anak didik yang dapat ijazah sekolah tinggi tidak tahu di mana harus mencari makan? Kalah dengan cicak yang tidak sekolah, tahu di mana ada nyamuk dan tidak ada cicak jadi penganggur.â€
Hal ini dikemukakan oleh Ketua Tim Ahli Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A(K), dalam Diskusi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Pendidikan Masa Kini di Pusat Studi Pancasila, Kamis (4/8) sore. Paparan Sutaryo bertujuan untuk mengeksplorasi pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang konsep pendidikan nasional dalam lingkup kebudayaan nasional.
Lebih jauh Sutaryo mengatakan Ki Hadjar berpikiran bahwa segala macam pendidikan harus ditujukan kepada kecakapan panca indra, ketajaman pikiran, kejernihan pikiran, kejernihan perasaan, tetap dan kuatnya kemauan juga tenaga serta kematangan budi pekerti. “Hal ini sebagai tiang kemerdekaan hidup. Istilahnya populer sekarang adalah memanusiakan manusia,†kata Sutaryo.
Ki Hadjar juga mengenalkan sistem ‘among’, yang mengandung arti memerdekakan tiap-tiap manusia untuk hidup menurut kodrat-iradatnya sendiri, tetapi mewajibkan untuk mengejar tertib damainya masyarakat umum. Para guru diwajibkan untuk mengingat dan mementingkan kodrat-iradatnya anak-anak murid, dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya. Cara mendidik dengan perintah, paksaan dengan hukuman, diganti dengan dengan memberi tuntunan dan menyokong anak dalam bertumbuh dan berkembang dengan kodrat-iradatnya sendiri, melenyapkan segala yang merintangi pertumbuhan dan perkembangan serta mendekatkan anak-anak kepada alam dan masyarakatnya. “Cara pendidikan adalah dengan percontohan, ibadat, dan pengajaran, sedangkan si murid membiasakan diri untuk mencari dan belajar sendiri. Dalam hal itu, si guru mengamat-amati dengan segala perhatian, hanya menolong bilamana perlu,†urainya.
Terkait dengan pesatnya arus globalisasi dan pendidikan ala Barat, Ki Hadjar jauh hari sudah memprediksi dampak yang ditimbulkan. Dalam tulisannya, Ki Hadjar Dewantara telah menyebutkan terjadinya kekacauan hidup berbangsa yang disebabkan perlawanan jiwa Timur dan semangat Barat. Semangat Barat sangat mementingkan intelektualistis. Menyerap semangat Barat memang ada keuntungannya, yakni memberi kemajuan, tetapi di sisi lain juga terdapat kerugian yang tidak kecil, yang menurut istilah Ki Hadjar, terdesaknya ‘budi kemanusiaan’ dan berkembangnya ‘budi-akal’ (istilah sekarang kognitif) yang merajalela dalam jiwa kita.
Untuk mengatasi hal tersebut, konsep Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan kebatinan atau kejiwaan menurut garis (kultur) kebangsaan. Supaya batin kita tidak guncang, ilmu pengetahuan Barat harus diselaraskan dengan kebudayaan kita (nasionalisasi) agar sesuai dengan hidup kita. “Tersesatnya sistem pendidikan yang intelektualistis dapat ditolak dengan kepanduan, handenarbeid, olahraga, dll. Selain secara lahir, Ki Hadjar Dewantara juga menganjurkan secara batin, yaitu menanam benih yang luhur dan indah dalam hidup batinnya,†kata Sutaryo.
Beberapa pemikiran Ki Hadjar Dewantara, menurut Sutaryo, masih cukup relevan, antara lain tulisannya pada tahun 1922 yang menyerukan bangsa Indonesia untuk kembali menempuh jalan kehidupan menurut garis hidupnya, kembali kepada kepribadian nasional. Dengan jalan nasional, orang akan lebih cepat maju daripada hanya menjadi peniru hidup orang asing. (Humas UGM/Satria A.N)