YOGYAKARTA – Pengadaan 137 kolam ikan lele di hunian sementara (huntara) Kuwang, Cangkringan, Sleman, dimaksudkan untuk membantu pemulihan sosial dan ekonomi warga korban erupsi merapi. Namun, setelah lima bulan program ini berjalan belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pasalnya, ditemukan banyak ikan lele yang mati sebelum waktu panen.
Menurut hasil pengamatan mahasiswa KKN PPM UGM, Christoper Joutua, tiap hari ditemukan lebih dari 50 kilogram lele yang mati. Di beberapa kolam ditemukan berbagai permasalahan. Secara umum, ditemui beberapa masalah yang hampir mirip, di antaranya kualitas bibit yang buruk dan terkena penyakit. Namun, belum ditemukan apa yang menyebabkan lele tersebut banyak yang mati.
Berdasarkan hasil penelitian tim Program Pemulihan Sosial Ekonomi mahasiswa KKN PPM UGM, diketahui banyak ikan lele yang terinfeksi penyakit. “Dalam panen pertama, sedikit sekali lele yang bisa dipanen. Menurut beberapa warga, banyak lele yang mati. Bahkan sejak dibagikan, sudah banyak bibit lele yang mati,†kata Joutua yang ditemui di huntara, Jumat (5/8).
Selain menghadapi masalah lele yang mati, warga juga mengalami kesulitan karena harga pakan yang terlalu tinggi, pembelian bibit yang tidak mencukupi akibat keterbatasan dana, belum adanya penyuluhan secara intensif, dan tim pendamping yang belum ahli.
Wafirudin, 52 tahun, selaku ketua kelompok pengelola 21 kolam lele milik warga Bakalan yang tinggal di huntara Kuwang mengakui banyak ditemui ikan yang mati. “Sudah gunakan macam-macam obat, tapi belum berhasil,†kata bapak tiga anak ini. Ia menyebutkan dari hasil panen 30 kolam hanya diperoleh uang hasil penjualan sebesar 14 juta rupiah. Artinya, dalam satu kolam rata-rata hanya dapat panen di bawah satu kuintal dengan harga jual lele 10 ribu per kilogram.
Huntara Kuwang dihuni warga 10 dusun. Warga Dusun Bakalan merupakan penghuni yang paling banyak. Mereka mendapat jatah mengelola 88 kolam lele. Modal untuk usaha lele berasal dari bantuan Dinas Perikanan DIY. Sebelumnya, pengelolaan diserahkan kepada pengurus kelompok. Tidak adanya pendampingan menyebabkan banyak warga yang enggan ikut serta mengelolanya. Mereka pun menunjuk seorang warga yang ditugaskan khusus untuk mengurus kolam. “Tiap bulan, saya dibayar Rp450.000,00,†kata Wafirudin.
Ketua Kormanit KKN unit 81 PPM UGM, Ardiansyah Jombat, menuturkan kasus gagal panen ikan lele ini berdampak pada menurunnya semangat warga yang sebelumnya sangat antusias memulai usaha budidaya kolam lele. “Minimnya penyuluhan dan hasil panen yang tidak maksimal dikhawatirkan berdampak tidak ada usaha kuat dan kemauan keras warga dalam melanjutkan program ini,†ujarnya. Jombat mengatakan pihaknya telah melaporkan kondisi ini kepada Dinas Perikanan Provinsi DIY dan dijanjikan akan ditindaklanjuti. Untuk memastikan kasus kematian ikan lele, upaya yang dilakukan ialah mendatangkan peneliti dari Universitas Gadjah Mada.
Dihubungi secara terpisah, pakar patologi penyakit hewan, Prof. drh. R. Wasito, M.Sc., Ph.D., mengatakan dirinya belum dapat memastikan penyebab kematian ikan lele di huntara Kuwang sebelum ada data analisis laboratorik. “Kita perlu anamnesa, termasuk umur ikan lele yeng terkena dan gambaran lesi patologisnya lengkap sehingga bisa dapat ditentukan kemungkinannya,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)