YOGYAKARTA-Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) yang saat ini tengah digodok di DPR menuai banyak kritik mendasar, antara lain terkait dengan urgensi dan substansinya. Kelahiran RUU ini dinilai juga hanya disemangati oleh sikap reaktif (bukan proaktif untuk memperbaiki sistem pendidikan tinggi di Indonesia) atas dibatalkannya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh MK.
RUU PT bahkan dinilai cacat filosofis-ideologis, yuridis, dan sosiologis mendasar. “Secara filosofis-ideologis, RUU PT ini terlihat belum mampu mengaktualisasikan ruh filosofi dan ideologi pendidikan Pancasila. Ruh ini seharusnya menjadi acuan nilai, tujuan, dan orientasi pendidikan tinggi yang diharapkan,†kata anggota Tim Ahli Pusat Studi Pancasila (PSP), Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Si., kepada wartawan di PSP UGM, Selasa (9/8).
Sudjito menuturkan secara yuridis, substansi RUU PT masih menyisakan masalah besar terkait dengan batas-batas substansi yang seharusnya diatur dalam RUU. Para penyusun RUU PT juga terkesan kurang memperhatikan substansi yang seharusnya diatur dengan UU, Peraturan Pemerintah, atau cukup dengan statuta. Seharusnya suatu UU cukup mengatur hal-hal mendasar yang merupakan penjabaran hak-hak konstitusional warga negara. “Seharusnya ketentuan yang mengatur keunikan dan kekhasan perguruan tinggi sebenarnya cukup diatur dengan statuta, tidak perlu diatur dengan UU. Tumpang-tindih hal-hal yang dimuat dalam RUU ini merupakan kelemahan mendasar yang perlu segera diperbaiki,†tutur Sudjito.
Secara sosiologis, ia melihat RUU PT menyimpan potensi besar untuk ditolak oleh masyarakat Indonesia. Hal ini terindikasi dari menguatnya kepentingan kelompok tertentu dan belum terakomodasinya kepentingan kelompok mayoritas masyarakat Indonesia. Jika ini diteruskan, menurut Sudjito, diperkirakan akan semakin menambah daftar masalah hukum dan pendidikan di Indonesia.
Di tempat yang sama, Ketua Tim Ahli PSP UGM, Prof.Dr.Sutaryo, Sp.A.(K), menyebutkan dengan melihat ruh RUU PT ini sebenarnya sama dengan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh karena itu, diharapkan ada kajian ulang terhadap substansi RUU ini dan jangan sampai RUU PT hanya sebagai ‘ganti baju’ dari UU BHP. “RUU PT dengan kondisi saat ini ditakutkan hanya mendukung pasar global dan tidak spesifik memperbaiki kondisi pendidikan kita. Kita juga sudah siapkan draf sandingannya,” ujar Sutaryo.
Dalam pandangan Sutaryo, keberadaan RUU PT saat ini banyak ditolak oleh PTS dan PTN di Indonesia karena roh dan substansinya yang belum mampu mengaktualisasikan filosofi dan ideologi pendidikan Pancasila. Dengan demikian, tidak menjadi masalah jika kemudian RUU PT ini apabila terpaksa disahkan kemudian dilakukan judicial review. “Tidak masalah ditolak meskipun pembahasannya telah menghabiskan banyak anggaran sebab ada yang lebih penting lagi dibandingkan besarnya anggaran yang telah dikeluarkan, yaitu masa depan pendidikan kita,†pungkas Sutaryo. (Humas UGM/Satria AN)