UGM berencana mengusulkan Prof. Sardjito menjadi pahlawan nasional. Rencana pengusulan Rektor pertama UGM ini karena jasa Prof. Sardjito yang begitu besar dalam bidang pendidikan dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Menurut pengamat sejarah UGM, Prof. Sutaryo, Prof. Sardjito tidak hanya berjasa dalam dunia pendidikan dan kesehatan, tetapi juga dalam upaya merebut kemerdekaan Indonesia.
Pada masa perang kemerdekaan, Prof. Sardjito turut berjuang melalui jalur kesehatan dengan mengupayakan ketersediaan obat-obatan dan vitamin bagi para prajurit. Selain itu, juga dengan membangun pos kesehatan untuk tentara. “Prof. Sardjito sangat layak menjadi pahlawan nasional karena beliau turut berjasa dalam perang merebut kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada masa itu, ketika yang lain bertempur, Prof. Sardjito memikirkan aspek kesehatan para tentara yang juga tidak kalah pentingnya,†katanya saat berbincang-bincang dengan wartawan, Rabu (10/8), di Ruang Stana Parahita UGM.
Sutaryo menyebutkan selain berjasa dalam upaya merebut kemerdekaan, Prof. Sardjito juga menjadi peletak dasar pendidikan Pancasila di Indonesia. “Patut diingat, beliau juga merupakan peletak pendidikan Pancasila di Indonesia,†tuturnya.
Hingga saat ini, sedikitnya terdapat delapan tokoh UGM yang telah dianugerahi gelar pahlawan nasional. Mereka adalah Prof. Dr. Abdurrachman Saleh, Dr.(HC) Ir. Soekarno, Dr.(HC) Ki Hajar Dewantara, Dr. (HC) Moh. Hatta, Prof. Ir. Herman Johanes, Prof. Dr. Suharso, Prof. Supomo, dan Sri Sultan HB IX. “Sudah ada beberapa tokoh UGM yang diberi gelar pahlawan nasional. Beberapa di antaranya seperti Prof. Dr. Abdurrachman Saleh, Dr. (HC) Ir. Soekarno, Dr.(HC) Ki Hajar Dewantara, Dr.(HC) Moh. Hatta, Prof. Ir. Herman Johanes. Sepertinya Prof. Sardjito masih terlewatkan. Untuk itu, kami merasa wajib untuk mengusulkan beliau yang telah memiliki bintang gerilya dan bintang mahaputra menjadi pahlawan nasional,†jelas Sutaryo.
Rencana pengusulan akan dibahas dalam Peringatan 122 Tahun Prof. Sardjito: Membangun Gedung Pusat dan Jati Diri UGM. Kegiatan akan dilaksanakan pada Sabtu, 13 Agustus 2011 bertempat di Balai Senat UGM. Ditambahkan Sutaryo, Prof. Sardjito turut berperan dalam proses pembangunan perguruan tinggi kerakyatan pertama di Yogyakarta. Keberadaan Gedung Pusat UGM tidak terlepas dari peran Prof. Sardjito dalam pembangunannya. Gedung Pusat UGM dibangun dalam kurun waktu 1951-1959 dengan arsitek KPH Hadinegoro berfilosofi tata ruang dan arsitektur indah dan berwibawa. Gedung ini diresmikan secara langsung oleh Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, pada 19 Desember 1959.
Mengenalkan Sejarah dan Filosofi Gedung Pusat UGM
Ir. T. Yoyok Wahyu Subroto, M.Eng., tim arsitektur UGM, menyampaikan penyelenggaraan peringatan 122 tahun Prof. Sardjito selain sebagai wujud penghargaan terhadap sosoknya, juga atas hasil karyanya dalam bidang pendidikan dan fasilitas yang ditinggalkan pada generasi penerus bangsa.
Dalam peringatan itu, nantinya akan diperkenalkan keberadaan Gedung Pusat UGM secara lebih luas dan mendalam. “Dalam kesempatan tersebut, akan dikupas seluk beluk filosofi dan arsitektur Gedung Pusat UGM karena ternyata selama ini belum banyak yang tahu dan paham terhadap keberadaan bangunan ini. Kurangnya pemahaman tersebut mengakibatkan kurangnya penghargaan terhadap keberadaan Gedung Pusat UGM yang termasuk dalam monumen perjuangan bangsa,†terangnya.
Tim arsitektur UGM lainnya, Ir. Ismudianto, M.S., mengatakan pembangunan Gedung Pusat UGM saat itu sudah menggunakan sistem modern. Gedung Pusat UGM didirikan sesuai dengan kosmologi Jawa, dengan sumbu Kridosono-Boulevard-Lapangan Pancasila-Gedung Pusat UGM-Merapi, sejajar dengan poros utama Laut Selatan-Panggung Krapyak-Keraton-Malioboro-Tugu-Merapi. “Gedung Pusat UGM ini juga memiliki poros imajiner yang sejajar dengan keberadaan poros imajiner utama kagungan dalem Keraton Yogyakarta,†ujarnya.
Tata ruang Gedung Pusat menghadap ke utara, arah Merapi, berdasarkan falsafah Tri Hitta Karana. Supaya tidak terkesan membelakangi Kraton Yogyakarta, marga utama ke Gedung Pusat UGM dibuat di sebelah selatan, yakni Boulevard UGM. Pembangunan kampus UGM dilengkapi dengan alun-alun yang saat ini menjadi Lapangan Pancasila. “Namun sayangnya, konsep ini tidak terlihat lagi dengan berdirinya Gedung Perpustakaan dan Grha Sabha Pramana. Ke depan diperlukan penataan ruang yang lebih teratur agar tidak menghilangkan konsep-filosofi yang telah ada,†kata Ismundianto. (Humas UGM/Ika)