YOGYAKARTA – Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM berencana untuk membuka Prodi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut. Kehadiran prodi baru ini diharapkan sejalan dengan kebijakan pemerintah dan mampu menghasilkan lulusan dengan kemampuan yang dapat memberi manfaat bagi pengelolaan sumber daya kelautan. “Kehadiran prodi ini sebagai jawaban dari kebijakan pengelolaan kelautan yang selama ini dianggap belum ideal diterapkan di masyarakat,†kata Direktur Sekolah Pascasarjana, Prof. Dr. Hartono, dalam Sarasehan Menuju Negara Maritim, Rabu (10/8).
Hartono menambahkan Prodi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut diharapkan dapat mendorong pemerintah untuk secara serius mendukung kebijakan kemaritiman. “Meski sudah dimotori dari Deklarasi Juanda, namun kebijakan belum fokus untuk masyarakat maritim,†ujarnya.
Menurutnya, salah satu masalah mendasar dari optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan adalah masih rendahnya sumber daya manusia di bidang kelautan dan perikanan. Padahal, Indonesia terdiri atas kelautan (dua pertiga wilayah), 17 ribu pulau dan garis pantai terpanjang nomor dua di dunia. Namun, potensi kelautan hayati dan nonhayati yang sangat berlimpah belum dimanfaatkan secara maksimal bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. “Potensi geografis kita cukup besar, 70 persen kelautan, 17 ribu pulau kecil, ada 8 ribu belum punya nama,†katanya.
Meski pendirian prodi ini masih dalam pengusulan, SPs UGM terus menghimpun pendapat, pandangan dari para akademisi, pemerintah, dan para ahli guna mendukung prodi ini. “Kita perlu dukungan, akademisi, bisnis dan pemerintah. Diharapkan nantinya DIY bisa sebagai pelopor kebijakan kemaritiman,†katanya.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengkubuwono X, menyambut baik rencana pendirian prodi baru di bidang kelautan yang diprakarasi oleh Sekolah Pascasarjana UGM. Menurutnya, pendirian prodi ini sangat relevan dengan kondisi Republik Indonesia sebagai negara maritim. Namun, kebijakan yang dilakukan pemerintah selama ini tidak membangun strategi kemaritiman, malah sebaliknya mengarah pada kebijakan kontinental. “Secara faktual bahwa negara ini negara maritim, tapi kita belum punya petugas penjagaan kemanaan kelautan, coastguard, dan aturan perniagaan kapal dan pengelolaan laut,†katanya.
Sri Sultan menyebutkan sedikitnya terdapat 14 institusi yang merasa memiliki kebijakan di bidang kelautan, seperti angkatan laut, Kementerian ESDM, Kementerian Pariwisata, dan Kementerian Perhubungan. Namun, mereka tidak secara khusus menjaga keamanan perairan dan kekayaan potensi laut. “Jika tidak dikelola dengan baik, maka kita punya problem besar di kelautan,†tuturnya.
Menurut Sri Sultan, meski posisi Indonesia semakin strategis, jika tidak mengelola kebijakan kemaritiman dikhawatirkan potensi laut akan diambil dan dikelola negara asing. “Hutan kita habis, tapi rakyat masih banyak yang miskin. Minyak sudah dikapling. Kalau laut sudah dikapling, kita mau punya apa lagi untuk sejahterahkan rakyat?†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)