
Mengisi kegiatan di bulan Ramadan, American Corner Perpustakaan Universitas Gadjah Mada mengundang siswa MAN 3 Yogyakarta untuk berbagi cerita dengan pelajar Jakarta dan Surabaya tentang “Ramadan in Americaâ€. Kegiatan yang berlangsung di Ruang Baca American Corner, Perpustakaan UGM, Selasa (9/8) menghadirkan pembicara Ms. Farah Pantith, the Special Envoy for Muslim Countries, dengan menggunakan fasilitas teknologi Digital Video Conference (DVC).
“Kegiatan semacam ini penting bagi kami dan senang bisa bertemu dengan kalian, generasi Facebook, sebab kalian merupakan generasi penerus yang akan menjalin kerja sama dan berbagi informasi untuk pemahaman antarbudayaâ€, kata Ms. Farah Pantith mengawali diskusi, yang ditransmisikan langsung dari Kedutaan Amerika di Jakarta dan diikuti Perpustakaan Universitas Gadjah Mada serta Universitas Airlangga.
Dalam kesempatan bertatap muka dengan para siswa di tiga kota, Farah Pantith menyampaikan arti penting penggunaan teknologi untuk akses informasi seperti yang dilakukan Amerika. Sebagaimana di negara-negara lain, orang Amerika sudah literate dalam hal teknologi. “Mereka bisa mendapat segala informasi tentang kebudayaan, praktik keagamaan, pajak, hanya melalui mengakses internet. Bahkan, mereka dapat mengecek pajak dan zakat kepada pemerintah maupun pengurus Islamic Center,” terangnya.
Sebagai negara demokrasi, menurut Farah, Amerika menjamin kebebasan bagi setiap warganya untuk menganut dan menjalankan agama masing-masing. Pemisahan antara agama dan negara telah memberikan kebebasan bagi umat beragama untuk menjalankan dan mengembangkan agamanya sesuai dengan hukum yang berlaku. “Berdasar pemisahan antara agama dan negara menjadikan sekolah-sekolah negeri di negara tersebut tidak mengajarkan agama. Pengajaran keagamaan dipercayakan kepada sekolah-sekolah swasta, yang muatannya berbeda antara satu negara bagian dengan negara bagian lain,” jelasnya.
Hadir dalam diskusi ini, Huned Kautsar, alumnus Youth Exchange Program (YES) Amerika Serikat tahun 2008, Ezalisa Irfan (YES, 2009), dan Arend Zwatjes dari Kedutaan Amerika Serikat-Jakarta. Huned Kautsar dalam diskusi ini juga memberikan pengalamannya selama Ramadan. Dikatakannya bahwa teman-temannya di Amerika selalu mencoba menjaga diri untuk tidak makan dan minum di hadapannya meski saat itu mereka berada di lapangan untuk main bola bersama.
Demikian pula pengalaman Ezalisa Irfan. Ia bercerita bahwa di hari pertama buka puasa ibu angkatnya menyempatkan diri untuk menanak nasi agar dirinya dapat merasa seperti berbuka puasa di Indonesia. Dengan pengalaman seperti itu, ia merasakan bahwa masyarakat Amerika menjunjung tinggi dan menghormati kepercayaan dan perbedaan agama.
Diskusi pun semakin meriah manakala di ujung acara diisi dengan sesi tanya jawab. Banyak siswa Indonesia tertarik akan perlindungan dan pemberian fasilitas bagi warga muslim di Amerika dan ketersediaan Islamic Center di setiap area. Mereka juga bertanya seputar bagaimana muslim menjalankan sholat tarawih, berzakat, dan merayakan hari Raya. (Humas UGM/ Agung)