Selama ini, limbah kulit ikan belum dimanfaatkan secara optimal dan dibiarkan begitu saja menjadi sampah. Padahal, limbah kulit ikan memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan dalam industri kulit. Di tangan tiga mahasiswa UGM, limbah itu pun disulap menjadi bahan bernilai ekonomis.
Ketiga mahasiswa kreatif itu ialah Putu Ary Dharmayanti(FTP, 2005), Aris Rudianto (FTP, 2007), dan Luqman Hakim (Biologi, 2007). Mereka berhasil mengembangkan usaha penyamakan kulit yang berasal dari limbah kulit ikan. Mereka mengolah limbah kulit ikan yang diperoleh dari 23 sentra industri fillet ikan di Benoa, Bali.
Putu Ary Dharmayanti mengatakan limbah kulit ikan yang berada di sentra industri fillet ikan di Benoa, Bali, keberadaannya sangat melimpah, tapi masih kurang dimanfaatkan. Satu sentra industri fillet di kawasan tersebut menghasilkan sekitar 15-23 kg limbah kulit ikan setiap harinya. “Selama ini, limbah kulit ikan di sentra industri fillet ikan Benoa belum dimanfaatkan dengan optimal, dibiarkan menumpuk menjadi sampah. Padahal, limbah yang dihasilkan cukup banyak dan sebenarnya sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan baku kulit samak,†jelasnya, Kamis (11/8), di Stana Parahita UGM.
Putu Ary menjelaskan kulit ikan dapat digunakan menjadi bahan baku alternatif berbagai produk kulit yang saat ini kian digemari oleh masyarakat. “Saat ini, baru sekitar 30% kebutuhan kulit dunia yang dapat terpenuhi. Sementara untuk Indonesia sendiri malah baru 20% yang bisa dipenuhi. Pemanfaatan kulit ikan ini diharapkan mampu menjadi bahan baku alternatif untuk memenuhi kekurangan bahan baku produk kulit,†terangnya. Disampaikan Putu Ary, penggunaan kulit ikan sebagai bahan baku produk kulit juga bertujuan untuk mengurangi perburuan satwa liar yang masuk dalam konservasi dan digunakan sebagai bahan baku industri kulit.
Usaha penyamakan kulit ikan yang dilabeli Skinny Fish “Gold Leather Innovation†ini memanfaatkan tiga jenis limbah kulit ikan, yaitu ikan kakap, tuna, dan mahi-mahi. Pemilihan jenis ikan tersebut atas dasar ketersediaan bahan yang selalu ada dan permintaan konsumen. Selain itu, juga karakteristik ikan yang unik dan menarik. “Kulit kakap memiliki permukaan kulit/nerf dari bekas sisik berbentuk bulat dengan ukuran sedang yang sangat eksotik, begitu pula dua jenis kulit ikan lainnya. Selain itu, juga memiliki serat yang bagus, hampir menyerupai serat kulit ular,†imbuh Aris Rusdianto.
Aris dan kawan-kawan memproses kulit ikan sehingga menghasilkan kulit ikan dengan serat yang kuat dan tingkat kelemasan tinggi. Produksi kulit ikan samak dilakukan dengan metode penyamakan sintetis dan nabati. Proses penyamakan kulit dimulai dengan menghilangkan kotoran dan sisik ikan terlebih dahulu. Selanjutnya, kulit yang telah dibersihkan, kadar protein dan lemaknya dikurangi sehingga hanya tersisa serat dan air. Setelah proses tersebut, lantas ditambah dengan bahan penyamak sintetis dan penyamak nabati. Kemudian, kulit ikan dijemur dengan tujuan menghilangkan kadar air untuk selanjutnya diwarnai dan terakhir finishing.
“Kami memiliki dua jenis metode pewarnaan kulit ikan. Pertama, dengan proses bleaching di mana pigmen warna kehitaman di dekat sisik dihilangkan sehingga diperoleh warna yang merata. Kedua, produksi tanpa proses penghilangan pigmen warna, warna kehitaman dekat sisik dipertahankan sehingga menghasilkan bercak-bercak kehitaman di sekitar sisik yang eksotik,†terang Aris.
Produk samak kulit ikan telah dipasarkan sejak Desember 2010 silam secara online. Untuk samak kulit ikan maha-mahi dipasarkan 15 ribu/lembar, dan kakap 20 ribu/lembar. Sementara untuk samak kulit ikan tuna dipasarkan 25 ribu untuk ukuran 15 cm X 30 cm. Luqman Hakim menambahkan untuk sementara mereka baru menjual berdasar pesanan karena keterbatasan kapasitas produksi. Namun, ke depan mereka berencana untuk menaikkan kapasitas produksi guna memenuhi berbagai permintaan barang yang sebagian besar berasal dari industri di Jepang dan Rusia.
Selama ini, produksi dilakukan secara manual. Dengan cara manual hanya mampu menghasilkan 100-125 lembar dalam satu kali produksi. “Saat ini, kami baru melayani by order karena produksi dilakukan masih dengan cara manual. Mengingat banyaknya permintaan pesanan yang belum terpenuhi, ke depan kami akan meningkatkan kapasitas produksi, yakni dengan menggunakan mesin dalam proses produksi. Dengan menggunakan mesin mampu menghasilkan produk yang jauh lebih banyak dibanding cara manual, yaitu 400 lembar dalam satu kali produksi,†tuturnya.
Produk yang dikembangkan tiga sekawan ini bersifat ramah lingkungan karena menggunakan teknologi yang menggunakan bahan nabati dan sintetis. Di samping itu, dalam proses pewarnaan juga digunakan pewarna alami. Usaha penyamakan tersebut juga mampu mengantarkan mereka meraih medali emas dalam Pimnas XXIV di Universitas Hasanuddin, Makassar, Juli lalu. (Humas UGM/Ika)