Yogya, KU
Pergeseran perilaku pemilih dalam beberapa pilkada di berbagai daerah menunjukkan kecenderungan pemilih tidak hanya menentukan pilihannya berdasarkan identifikasi kepartaian, melainkan mulai menggunakan isu dan performa kandidat sebagai referensi pilihannya.
Hal ini diakui oleh Pengamat politik UGM AA GN Ari Dwipayana dalam diskusi “Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009â€, Kamis Sore (4/7) di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM.
Menurut Ari, belajar dari hasil pilkada yang bisa dianggap sebagai pemilu pendahuluan menjelang 2009 menunjukkan bahwa pilihan pada loyalitas partai kini telah bergeser akibat adanya ketidakpercayaan (distrust) kepada partai dan figur calon dengan cara melakukan non voting (Golput) dan protest voting, dengan memilih figur-figur alternatif yang kebanyakan dicalonkan oleh partai kecil dan menengah.
“Ini sinyal dan warning pada partai besar terhadap perubahan pergeseran perilaku pemilih,†ujar Ari.
Selain itu, tambah Ari, kekalahan beberapa partai besar di beberapa pilkada disebabkan, pertama mesin partai politik tidak bekerja dengan baik karena terjadi fragmentasi internal dan proses rekrutmen yang tidak demokratis. Kedua, menurunnya tidak kepercayaan (distrust) pemilih termasuk pemilih loyal partai dengan melakukan dua hal; non voting dan prosest voting. Dan, Ketiga, pemilih rasional yang gambang berayun (swing voters) mulai menyukai figur-figur alternatif yang diusung oleh paratai-partai kecil dan menengah.
Kendati begitu, Ari mencermati beberapa fenomena politik yang menurutnya perlu mendapat perhatian serius. Yakni, prosentase partisipasi pemilih dalam pemilu dan pilkada yang semakin menurun.
Ari menyebutkan, pasca tumbangnya Orde Baru menunjukkan terjadi trend peningkatan jumlah golput dari 10,21 persen pada pemilu 1999 menjadf 23,34 persen pada pemilu 2004. Bahkan pilpres putaran pertama angka golput mencapai 21,5 persen, angka ini meningkat menjadi 23,3 persen pada pilpres putaran kedua.
“Peningkatan angka Golput tidak hanya terjkadi di pemilu legislatif dan pilpres, namun juga terjadi dalam pilkada yang rata-rata berkisar 27,9 persen,†katanya.
Ari mengungkapkan, dalam pilkada di sejumlah wilayah, angka golput ini mencapai separuh, seperti yang terjadi dalam pilkada Surabaya, Kota Medan, Kota Banjarmasin, Kota Jayapura, Kota Depok dan Provinsi Kepulauan Riau dan terakhir di Jawa tengah. Bahkan, imbuh Ari, jumlah Golput ini lebih tinggi dibandingkan dengan perolehan suara pemenang Pilakada.
“Hal ini bisa ditunjukkan oleh fenomena tingginya angka Golput dalam pilkada di Provinsi Jawa Tengah,†jelasnya.
Disebutkan Ari, angka Golput yang tinggi terjadi pada Pilkada di Jawa Tengah 45,25 persen, Jawa Barat 32,6 persen, DKI 37 persen, Kaltim 34,4 persen, Sumatera Utara 43 persen, Sulawesi Selatan 33 persen dan Sumatera Barat 39,9 persen.
Makin tingginya angka Golput ini, menurut Ari bisa jadi menjadi gambaran jelas dan gejala umum pada pemilu di masa mendatang. Disebabkan adanya perubahan perilaku pemilih yang mengalami ketidakpuasan pada partai politik dan figur yang dicalonkan.
“Kemungkinan fenomena Golput akan menjadi gejala umum pada pemilu 2009, jika masyarakat tetap merasa tidak puas dengan kinerja partai dan tidak dimunculkannya figur-figur baru yang lebih menjanjikan,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)