YOGYAKARTA-Keberadaan sastra, politik, dan media di Indonesia dinilai saling memiliki hubungan yang sangat erat. Jika dibandingkan dengan media di luar negeri, seperti Australia, media Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda, misalnya dalam penyajian rubrik sastra dan budaya. Di media Indonesia, karya sastra dan budaya mendapat ruang yang lebih luas dibandingkan dengan media di Australia.
Di samping itu, di Indonesia tidak sedikit wartawan yang sekaligus menulis sastra dan politik, antara lain Mochtar Lubis. “Nah, kalau kita bicara Mochtar Lubis ini, maka akan terlihat semakin kental hubungan antara politik dan karya sastra di Indonesia,†tutur Prof. David T. Hill dari Asian Studies Program, School of Social Sciences and Humanities, Faculty of Arts, Education and Creative Media, Murdoch University, Murdoch, Western Australia, dalam diskusi buku terbarunya ‘Jurnalisme dan Politik di Indonesia di Ruang Seminar Pascasarjana Fisipol UGM, Selasa (16/8).
Diskusi buku ini diadakan sekaligus dalam rangka launching Public Communication Corner (PCC) Jurusan Ilmu Komunikasi (JIK) Fisipol UGM. PCC merupakan salah satu unit penting di JIK Fisipol UGM untuk menjadi ruang interaksi antara peneliti tamu (luar negeri dan dalam negeri), stakeholders, dan berbagai institusi publik lainnya.
David T. Hill melihat sosok Mochtar Lubis yang terkenal sebagai intelektual, wartawan, sekaligus sastrawan, merupakan seorang intelektual sekuler, tetapi modern. Mochtar Lubis memiliki kapasitas yang luar biasa sehingga dengan tulisannya dapat menjembatani dan sekaligus menjelaskan kepada pihak asing apa yang tengah terjadi di Indonesia saat itu. “Mungkin di sini bahasanya semacam sebagai broker/pialang. Namun, bahasanya mudah dimengerti oleh orang asing,†imbuhnya.
Sementara itu, Kuskrido Ambardi, Ph.D., sebagai pembahas mengakui peran Mochtar Lubis, khususnya terkait dengan sejarah jurnalisme politik di Indonesia. Kuskrido menilai ada tiga peran sosial yang dijalankan Mochtar Lubis saat itu. Pertama, sebagai wartawan. Saat itu, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai pemimpin redaksi Harian Indonesia Raya. Kedua, seorang intelektual publik yang gandrung dengan pemerintahan bersih dan bermartabat. Ketiga, sebagai sastrawan dan budayawan. “Meskipun ia termasuk elit politik dengan karakter politik Indonesia kala itu yang elitis, kita tetap tidak bisa mengerdilkan peran Mochtar Lubis, khususnya di bidang jurnalisme politik,†kata Ketua Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Fisipol UGM itu.
Kuskrido menambahkan semua peran sosial yang dijalankan Mochtar Lubis sangat besar karena setiap tulisannya diperhatikan elit dan publik. Ia meninggalkan jejak, tetapi kalau ditelusuri jejak itu sebagian bersifat personal dan tidak dapat diwariskan. Sebagian yang lain lagi merupakan jejak politik yang panjang. Sejauh berkaitan dengan jejak jurnalistik, Mochtar Lubis dan Indonesia Raya tidaklah meninggalkan genre jurnalistik yang spesifik. Namun, yang ditinggalkan adalah ‘semangat’ untuk kritis, menjadi oposisi, dan melawan penguasa.
Di tempat sama, dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, Hermin Indah Wahyuni, Ph.D., mengatakan buku karya David T. Hill ini sangat bermanfaat untuk melengkapi dan memperkaya potret pers Orde Baru, melengkapi wacana pengetahuan melalui karya dengan tema sejenis, yang (sayangnya) terbatas dalam bahasa asing. Ke depan, pemetaan buku ini akan sangat membantu para analis media dan komunikasi dalam melihat berbagai kemungkinan pertumbuhan pers Indonesia ke depan. “Sebagai semacam postscript dari isu ini, kontekstualisasi isu pers Indonesia pada masa pascareformasi jelas mengalami dinamika yang akan berbeda. Katakanlah ideologi pers Indonesia semakin kabur, berkompetisi semakin ketat dengan industri televisi, konspirasi antara bisnis dan politik yang semakin mengkhawatirkan dan sekaligus konvergensi dengan media baru,†ujar Hermin. (Humas UGM/Satria AN)