YOGYAKARTA-Berbagai hasil survei dan penelitian menunjukkan kondisi sumber daya air di Pulau Jawa dan Bali termasuk kategori kritis. Hasil perhitungan neraca air pada musim kemarau tahun 2003 dan prediksi tahun 2020, Pulau Jawa dan Bali pada tahun 2003 mengalami defisit air sebesar 13,1 miliar m3. Pada 2020, besarnya defisit meningkat cukup signifikan menjadi 18,8 miliar m3. Indeks ketersediaan air di Pulau Jawa dan Bali, tempat 60% penduduk Indonesia bermukim, berdasarkan survei tahun 1986 sebesar 1.750 m3/kapita/th, termasuk kategori kritis menurut klasifikasi World Water Resources Institut.
Penilaian peran hidrologis hutan terhadap kontinuitas aliran perlu dibuktikan secara ilmiah. Aliran dasar merupakan salah satu indikator penting kondisi sumber daya air pada musim kemarau. “Di sisi lain, kajian terhadap kontroversi pengaruh vegetasi terhadap persediaan air tanah perlu dilakukan untuk memformulasikan kontribusi sektor kehutanan dalam mengantisipasi krisis sumber daya air,†kata Muchamad Saparis Soedarjanto, S.Si., M.T., pada ujian terbuka doktor Ilmu Geografi di Auditorium Fakultas MIPA UGM, Sabtu (20/8). Dalam kesempatan itu, Soedarjanto mempertahankan disertasi yang berjudul ‘Kovariasi Spasial Hubungan Penutupan Vegetasi dengan Resesi Aliran Dasar di Pulau Bali’.
Kovariasi spasial merupakan ekspresi dari paradigma geomorfologi dalam ilmu geografi yang di dalamnya juga membahas mengenai fenomena bentang lahan. Aliran dasar merupakan salah satu komponen bentang lahan lainnya. Dalam penelitiannya, Soedarjanto berupaya mengkaji pengaruh tingkat kerapatan vegetasi dan keterkaitannya dengan aspek-aspek fisik Daerah Aliran Sungai (DAS) lainnya terhadap koefisien resesi aliran dasar. “Penelitian dilakukan di Pulau Bali mencakup 30 Daerah Aliran Sungai (DAS). Pelaksanaannya melalui tiga tahap, yaitu pengukuran data di lapangan, pengumpulan data dari instansi yang relevan dan analisis data,†imbuh pria kelahiran Surakarta, 12 Mei 1968 ini.
Soedarjanto menambahkan penelitiannya dibatasi, antara lain, mengenai pengaruh tingkat kerapatan vegetasi dan keterkaitannya dengan aspek-aspek fisik DAS lainnya terhadap koefisien resesi aliran dasar. Dengan demikian, dapat dipelajari peran hidrologis vegetasi terkait dengan pengaruhnya terhadap tampungan air tanah yang direpresentasikan oleh aliran dasar; mengkaji pengaruh penutupan tajuk vegetasi terhadap karakteristik aliran dasar DAS; serta keterkaitannya dengan aspek-aspek morfometri, jenis batuan dan jenis tanah; juga mengetahui kovariasi spasial aliran dasar di DAS-DAS yang mempunyai karakteristik lahan yang bervariasi dalam hal penutupan vegetasi, morfometri, jenis batuan dan jenis tanah.
Kesimpulan terhadap penelitian 30 DAS di Pulau Bali yang merupakan daerah monsoon tropis dan material induknya berupa vulkanik kwarter dari penelitian Soedarjanto ialah pertama, semakin tinggi tingkat kerapatan tajuk vegetasi, semakin tinggi penyerapan air tanah, sehingga semakin berdayaguna peranan vegetasi sebagai sistem pompa dalam transformasi air tanah menjadi uap air melalui mekanisme transpirasi.
Kedua, peran ganda vegetasi terhadap aliran dasar bersifat kombinatif dan terkait dengan faktor-faktor lahan lain, seperti kerapatan aliran (drainage density) dan kapasitas infiltrasi tanah. Ketiga, kerapatan tajuk dan jenis batuan merupakan faktor pengontrol dalam menentukan kovariasi spasial aliran dasar di Pulau Bali melalui analisis cluster metode hierarki dan nonhierarki. “Nilai koefisien resesi aliran dasar yang rendah dijumpai pada DAS-DAS dengan kerapatan tajuk yang rendah dan tersusun atas batuan dengan permeabilitas tinggi, yaitu tefra dan alluvium,†terang Soedarjanto yang sempat menjabat Kepala Seksi Evaluasi DAS, BP DAS Unda Anyar, Denpasar, Bali.
Usai mempertahankan disertasinya di hadapan tim penguji Prof. Dr. Suratman, M.Sc., Prof. Dr.rer.nat. Junun Sartohadi, M.Sc., Dr. M. Pramono Hadi, M.Sc., Drs. Projo Danoedoro, M.Sc., Ph.D., Prof. Dr. Sudarmadji, M.Eng.Sc., Prof. Dr. Sutikno, Dr. Senawi, M.P., dan Dr. Ir. Harry Santoso itu akhirnya Soedarjanto dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude. Dengan diraihnya gelar tersebut, Soedarjanto menjadi doktor ke-1444 dari UGM. (Humas UGM/Satria AN)