YOGYAKARTA – Petani salak kini tidak lagi harus membuang limbah daging salaknya. Atas dukungan mahasiswa KKN-PPM UGM, limbah salak selain dapat digunakan dalam pembuatan kompos, juga dapat dimanfaatkan menjadi bioetanol. Rencananya, tidak hanya limbah daging salak yang dapat diolah jadi bioetanol, tetapi juga pelepah dan biji salak.
“Rata-rata limbah salak busuk yang tidak layak jual sebanyak 5 persen. Sayang, jika daging salak ini tidak dimanfaatkan. Rencananya, ke depan kita akan manfaatkan juga pelepah pohon salak dan biji salak untuk diolah jadi bioetanol,†kata Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) KKN PPM, Prof. Dr. Karna Wijaya, M.Eng., saat mendampingi pemasangan alat instalasi bioetanol untuk home industry dan pelatihan pembuatan bioetanol dari limbah salak di Dusun Kelor, Bangunkerto, Turi, Sleman, Minggu (21/8).
Dosen Jurusan Kimia FMIPA ini menuturkan alat destilator yang diserahkan ke petani salak merupakan hasil buatan Pusat Studi Energi (PSE) UGM. Alat seharga 1,5 juta rupiah tersebut diserahkan kepada kelompok petani salak untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. “Kita ingin membangun desa energi mandiri, minimal 60 persen kebutuhan energi bisa dipenuhi sendiri di sini,†katanya.
Menurut Wijaya, alat yang diberikan berkapasitas 25 liter bioetanol, terdiri atas dua tabung destilator. Sebelumnya, limbah salak difermentasikan terlebih dahulu selama satu minggu dengan menambah ragi dan urea. Cairan fermentasi kemudian dipanaskan dengan suhu 70 derajat pada tabung destilasi.
Mahasiswa KKN-PPM, Muhammad Shidiq, menuturkan pemanfaatan limbah salak untuk diolah menjadi bahan bakar alternatif melalui pemasangan alat instalasi bioetanol merupakan tema program KKN PPM yang dilaksanakan di Kecamatan Turi, Sleman. Dibantu 30 mahasiswa peserta KKN PPM lainnya, diadakan sosialisasi dan pelatihan rutin kepada petani salak. “Kita sudah mengadakan empat kali pelatihan,†katanya.
Biasanya, limbah salak di buang dipinggir kebun, dibiarkan membusuk, kemudian dijadikan kompos. Namun, oleh mahasiswa, petani diajak untuk memanfaatkannya menjadi bioetanol. Caranya pun sangat mudah. Limbah buah daging salak dikupas, kemudian diparut hingga halus. Setelah itu, dimasukkan ke dalam ember atau drum dicampur dengan ragi dan urea untuk mempercepat proses fermentasi. Dibutuhkan waktu 3-4 hari untuk fermentasi. Lalu, hasil cairan fermentasi disaring dan dimasukkan ke dalam tabung destilator.
Kepala Dukuh Dusun Kelor, Darmojo (47), menyambut baik program mahasiswa KKN PPM UGM yang memperkenalkan program pengolahan limbah salak. Diharapkannya program ini segera diterapkan oleh warganya yang mayoritas sebagai petani salak. “Bioetanolnya bukan hanya pengganti minyak tanah saja, tapi juga bisa tingkatkan kesejahteraan ekonomi mereka,†katanya.
Darmojo menuturkan di Dusun Kelor hasil panen salak mencapai 8-9 ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 5 persen hasil panen tidak layak jual. “Biasanya, setiap seribu meter persegi kebun salak terdiri 300-an rumpun. Tiap satu rumpun hasilkan panen 2-3 kilo salak,†jelasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)