
Kebijakan kredit bagi masyarakat kecil di Indonesia muncul pertama kali pada awal abad XX, yaitu dengan menjadikan politik etis sebagai dasar politik kolonial Belanda di tahun 1901. Perwujudan kebijakan ini adalah dengan menjadikan volkscredietwesen secara resmi bertanggung jawab terhadap pengadaan kredit bagi masyarakat Bumiputera.
Menurut staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, Drs. Haryono Rinardi, M.Hum., kebijakan pemerintah untuk membantu masyarakat kecil melalui pengadaan kredit terus berlanjut ketika Orde Baru berkuasa. Salah satu program kredit yang diberikan secara khusus kepada petani berupa program BIMAS. Program lain berupa Program Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) yang dimulai awal tahun 1974.
Kebijakan pemberian kredit bagi masyarakat kecil, menurut Haryono Rinardi, sesungguhnya telah dilakukan pemerintah sejak zaman kolonial hingga masa kemerdekaan. Bahkan, satu fenomena menarik di setiap periode kekuasaan ialah selalu muncul kebijakan pemberian kredit untuk masyarakat kecil. “Dengan latar belakang yang berbeda-beda, pemerintah telah menjalankan berbagai macam program kredit kecil. Sayangnya, realitas di lapangan selalu saja terjadi perdebatan tentang implementasi dan efektivitas dari kebijakan kredit yang dijalankan,” katanya di Ruang Multimedia, Gedung R.M. Margono Djojohadikusumo, FIB UGM, Senin (22/8), saat menempuh ujian terbuka program doktor bidang ilmu sejarah.
Dari desertasi ‘Kredit untuk Rakyat: Kebijakan Kredit Kecil Perbankan untuk Usaha Kecil dan Menengah 1904-1990’, Haryono berkesimpulan bahwa kebijakan kredit kecil bersubsidi, baik yang dilakukan penguasa kolonial maupun Pemerintah Orde Baru di era kemerdekaan, bukan menjadi solusi utama atas persoalan kebutuhan modal bagi usaha kecil dan menengah. Pendekatan pump priming kredit pedesaan melalui pendirian lembaga-lembaga keuangan guna mendorong pembangunan pedesaan terbukti tidak sepenuhnya benar. “Berbagai temuan dalam penelitian ini sekaligus membantah keakuratan teori di kalangan pakar ekonomi dekade 1970-an yang sering kali menyebutkan bahwa penyediaan kredit-kredit murah bagi petani kecil dan masyarakat pedesaan merupakan strategi tepat untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan,” jelasnya.
Pria kelahiran Rembang, 11 Maret 1967, ini menuturkan kegagalan program kredit kecil bersubsidi untuk meningkatkan usaha kecil dan menengah dapat dijelaskan beberapa hal, di antaranya kredit kecil bersubsidi untuk usaha kecil dan menengah sering menjadi bagian dari kepentingan industriawan global, sementara sektor usaha dominan yang memperoleh kredit kecil bersubsidi sejatinya bukan sektor ekonomi yang memiliki nilai strategis bagi pembangunan ekonomi Indonesia.
Selain itu, Haryono berpandangan hampir selalu terdapat tujuan non-ekonomi di balik kebijakan kredit kecil dan tidak semua debitur kredit kecil mampu memanfaatkan kredit yang diterima untuk meningkatkan kinerja usahanya. “Ini menunjukkan kebutuhan kredit bukanlah satu-satunya persoalan yang harus dihadapi usaha kecil dan menengah di Indonesia agar dapat tumbuh dan berkembang sebab kebijakan kredit kecil selalu sarat dengan korupsi,” tutur Haryono Rinardi yang dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dan menjadi doktor ke-1445 yang diluluskan UGM. (Humas UGM/ Agung)