YOGYAKARTA – Pemuda selalu berada dalam dilema antara cara pandang orang dewasa dan dirinya sendiri. Ketika merasa tidak berperilaku seperti yang diangankan orang dewasa, mereka sering dianggap salah dengan pelabelan stigma negatif. Padahal, di balik stigma yang disandang, mereka berupaya menampilkan sisi sebagai manusia yang cukup kritis dalam membaca kenyataan.
Hal itu disampaikan dosen Fisipol UGM, Subando Agus Margono, M.Si., dalam diskusi ‘Pemuda dan Identitas’, yang diselenggarakan Youth Studies Centre, di Ruang Seminar Pascasarjana Fisipol, Selasa (23/8) sore. Menurut Subando, berdasarkan hasil penelitiannya tentang kehidupan pemuda di kampung Sangkrah, Solo, diketahui bahwa pemuda di tempat tersebut dianggap oleh pemerintah setempat dan masyarakat sekitar sebagai kampung dengan predikat kurang baik. “Tidak hanya perilaku mereka, namun nama kampung mereka pun dipandang negatif,†tuturnya.
Lebih jauh, Subando menuturkan yang dialami para pemuda kampung Sangkrah merupakan hal yang biasa dialami oleh pemuda miskin di pingiran kota-kota besar di Indonesia. “Negara sering kali salah membaca pemuda, sering menganggap pemuda dalam posisi stigma negatif atas perilaku moral yang dibuatnya, ditambah kondisi ekonomi pemuda yang miskin,†tambahnya.
Stigma yang dibangun pada pemuda saat ini mengalami kemunduran. Sebelum kemerdekaan, para pemuda dianggap sebagai pemikir. Kemudian, pada saat penjajahan Jepang, pemuda dibangun kesadarannya untuk melawan penjajah guna merebut kemerdekaan. “Sayang, sampai saat ini pemuda tidak ditempatkan sebagai agen pembangunan. Negara selalu saja salah membaca,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)