Menganalisis fenomena negosiasi dalam konflik separatisme dengan menggunakan regim compliane bargaining tentu memerlukan kehati-hatian. Hal ini disebabkan pada level analisis regim compliance bargaining berada dalam level internasional dan regional, sedangkan dalam issue negosiasi konflik, seperti di Mindanao, berada pada level nasional atau subnasional.
Perbedaan level legislasi atau pembuatan sebuah struktur dalam pandangan paradigma konstruktivis memiliki perbedaan yang signifikan dalam memaknai perilaku struktur dan agen. Pada level internasional, posisi struktur sedemikian rupa tidak otoritatif, sedangkan perilaku agen sedemikian eksklusif dan otoritatif. Sementara itu, pada level nasional, perilaku struktur sedemikian rupa otoritatif dan perilaku agen sedemikian terdeterminasi oleh perilaku struktur.
Demikian penuturan Surwandono, S.Sos., M.Si., staf pengajar Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Isipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, saat menempuh ujian terbuka program doktor UGM, Rabu (24/8). Dalam mempertahanan disertasi “Kegagalan Regime Negosiasi Final Peace Agreement 1996 dalam Pelembagaan Penyelesaian Konflik Mindanao”, promovendus didampingi promotor Prof. Dr. Mohtar Mas’oed dan ko-promotor Dr. Nanang Pamudji Mugasejati.
Dalam riset disertasinya, Surwandono menawarkan arti penting governance negotiation dalam proses negosiasi guna penyelesaian konflik separatisme yang memiliki derajat kompleksitas tinggi. Governance negotiation yang dilandasi dengan tata nilai transparansi, akuntabilitas, dan keadilan menjadi jawaban paling tepat dalam mengatasi politik instrumentasi negosiasi.
Dikatakan Surwandono, governance negotiation akan menempatkan publik sebagai kelompok masyarakat yang selama ini termarginalisasi dalam proses negosiasi. Bahkan, ia menjadi salah satu elemen penting dalam negosiasi sebab publik sesungguhnya sebagai pelaku (subjek) dan sasaran (objek) dari setiap produk kebijakan terkait dengan negosiasi. Dengan demikian, negosiasi sejatinya berasal dari, oleh, dan untuk publil. “Oleh karenanya, governance negotiation menjadi salah satu jawaban baru bagi upaya penyelesaian konflik separatisme di Filipina, Srilangka, Pattani, maupun konflik primordial yang memiliki derajat kompleksitas tinggi di Israel-Palestina,” ujar Surwandono di Auditorium Pascasarjana Fisipol UGM.
Ditambahkan Surwandono bahwa governance negotiation akan memberikan derajat objektivikasi tinggi dalam menentukan alternatif penyelesaian berbasis kepentingan publik dibandingkan kepentingan aktor. “Sehingga kegagalan beragam negosiasi terkait isu separatisme maupun konflik primordial lebih disebabkan proses objektivikasi penyelesaian yang lebih berbasis kepentingan elit dibanding kepentingan publik,” katanya. (Humas UGM/ Agung)