YOGYAKARTA-Muda, berprestasi, dan penuh karya. Berbagai predikat itu tampaknya tepat disematkan pada Dekan Fakultas Filsafat UGM, Dr. M. Mukhtasar Syamsuddin, M.Hum. Karena itu, tidak heran jika dirinya masuk dalam 20 Akademisi Top Indonesia versi Majalah CAMPUS Indonesia terbitan Agustus 2011. Dari sisi usia, Mukhtasar saat ini masih 43 tahun. Ia lahir di Luwu, Sulawesi Selatan, 2 Februari 1968. Di usianya tersebut, Mukhtasar telah menjabat Dekan Fakultas Filsafat UGM lebih dari tiga tahun sejak dilantik pada 2008 silam.
Terkait dengan gelar yang diraihnya sebagai Akademisi Top Indonesia, Mukhtasar mengaku tidak tahu persis survei yang dilakukan majalah tersebut. Ia menduga profil dan informasi yang diperoleh tentang dirinya banyak diambil dari website. “Kaget juga. Saya sendiri tidak merasa telah berbuat yang berlebih. Tapi, ya itu, di dunia jurnalistik kan bisa saja caranya untuk survei, misalnya dari website dan lain-lain,†kata Mukhtasar di ruang kerjanya, Kamis (25/8).
Ia mengaku tidak ada yang spesial atau memiliki prestasi prestisius. Hanya saja, dalam kesempatan itu Mukhtasar banyak bercerita tentang usahanya dalam membesarkan dan memajukan Fakultas Filsafat, yang selama ini oleh sebagian masyarakat masih dipandang dengan sebelah mata dan hanya sebagai “program studi yang keringâ€. Namun, berkat keuletan dan kerja kerasnya, Fakultas Filsafat UGM terus “menggeliat†dan mampu berpartisipasi dalam mencari solusi terhadap persoalan bangsa. “Selain itu, juga bisa dilihat dari jumlah peminat mahasiswa yang masuk Fakultas Filsafat UGM mengalami peningkatan. Tahun 2010 lalu, jumlah mahasiswa Filsafat hanya 46 orang. Kini, bertambah menjadi 92 orang,†tutur suami Yuli Ismulyati ini.
Mukhtasar mengatakan selama dirinya menjabat dekan, Fakultas Filsafat juga banyak terlibat dalam perumusan konsep pendidikan kepribadian bersama Kemdiknas. Melalui peran yang dijalaninya dalam kelompok kerja (pokja) nasional, telah berhasil dirumuskan kembali metode Pendidikan Pancasila. Bahkan, kemudian Pendidikan Pancasila dimasukkan kembali sebagai mata kuliah wajib di bangku perguruan tinggi. “Dulu, dalam UU Sisdiknas hanya dimasukkan dalam Pendidikan Kewarganegaraan, tapi kemudian ada surat edaran Dirjen Dikti yang mewajibkan lagi mata kuliah Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi. Nah, di Fakultas Filsafat UGM ada mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan masing-masing 2 sks, yang itu juga dicontoh oleh banyak kampus lain,†ujarnya.
Tidak itu saja, satu terobosan yang dilakukan Mukhtasar setelah menjabat Dekan Fakultas Filsafat ialah menjalin banyak kerja sama dengan perguruan tinggi lain di luar negeri. Langkah ini belum banyak dilakukan oleh para dekan sebelumnya. Sebagai contoh adalah MoU yang telah dijalin dengan beberapa perguruan tinggi ternama di AS, yang tergabung dalam SIT (School of International Training). “Kerja sama, khususnya terkait dengan pertukaran mahasiswa atau short course, misalnya. Mahasiswa AS ini banyak belajar mengenai Pancasila, budaya, dan agama,â€jelasnya.
Pada tahun 2009, Mukhtasar juga sempat memperoleh beasiswa dari Fulbright untuk mengajar di Northeastern State University, Oklahoma, AS. Mukhtasar mengaku banyak menyampaikan presentasi terkait dengan filsafat keindonesiaan dan local wisdom ke beberapa negara, seperti Korea, India, Thailand, Vietnam, dan Belanda. “Prinsipnya, misi Fakultas untuk mengembangkan filsafat nusantara di dunia internasional bisa tercapai,†kata penyandang gelar Ph.D. dari Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, South Korea, ini.
Dengan predikat sebagai Akademisi Top Indonesia ini, Mukhtasar berharap dirinya dapat terus berkarya secara kreatif sehingga mampu berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan bangsa, khususnya melalui bidang pendidikan kepribadian. Mukhtasar juga berharap nilai-nilai Pancasila dapat semakin terinternalisasi dalam diri bangsa Indonesia. “Saya juga banyak berharap ada perubahan paradigma masyarakat terhadap lulusan Fakultas Filsafat yang banyak dinilai hanya akan menganggur. Ini tidak benar. Lulusan Fakultas Filsafat itu bisa bekerja dan diterima di mana saja,†pungkas ayah Taqiyya Tsaqifa, Fazla Syathira, dan Azka Masagena tersebut.
Mukhtasar bersama dengan 19 akademisi lain, misalnya Eep Saefulloh Fatah (pakar politik Universitas Indonesia), Effendi Gazali, Ph.D. (pakar komunikasi Universitas Indonesia), Prof. Adrianus Meliala (pakar kriminologi Universitas Indonesia), Prof. Ismunandar (profesor termuda/pakar kimia Institut Teknologi Bandung), dan Prof. Firmanzah (Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia), dinobatkan sebagai 20 Akademisi Top Indonesia versi Majalah CAMPUS Indonesia Jakarta terbitan Agustus 2011. Dalam majalah yang banyak memuat tentang pendidikan ini, 20 akademisi tersebut dinilai merupakan sosok yang muda, berprestasi, dan penuh karya. Kedua puluh akademisi berusia di bawah 50 tahun. (Humas UGM/Satria AN)