
YOGYAKARTA – Universitas Gadjah Mada (UGM) tetap dan senantiasa berkomitmen untuk memberikan kesempatan kepada putra-putri terbaik bangsa guna mengenyam pendidikan di kampus ini. Untuk tahun 2011, UGM juga menerima puluhan mahasiswa asal Papua, yang sembilan di antaranya berasal dari Kabupaten Pegunungan Bintang. Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi kurang mampu dan tinggal di tengah pedalaman hutan lebat. Untuk menuju kampung mereka hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama berhari-hari hingga berminggu-minggu.
Abenius (21) termasuk salah satu dari sembilan mahasiswa baru UGM asal Pegunungan Bintang. Ia berasal dari suku Ketengban yang tinggal di kampung Borme. Perjalanan ke kampung ini hanya dapat dilakukan dengan berjalan kaki melewati hutan belantara selama satu minggu dari kota Oksibil, ibukota kabupaten Pegunungan Bintang. Karena itu, saat melanjutkan SMA di Oksibil, sebagai satu-satunya SMA di kabupaten ini, Abenius terpaksa menumpang di tempat sanak saudaranya. Bila sudah kehabisan uang saku, ia pun harus pulang. “Kalau pulang, kita bawa ubi (ubi jalar) untuk bekal selama di jalan,†kisah Abenius yang diterima di Prodi Agroindustri, Fakultas Teknologi Pertanian, saat diundang ke Kantor Bidang Humas dan Keprotokolan UGM.
Tidak jarang di tengah perjalanan, Abenius bertemu dengan hewan buas, salah satunya adalah ular. Ia pun mengaku pernah dua kali digigit ular berbisa. Dikatakannya bahwa tidak ada obat atau ramuan khusus untuk mengobati luka bekas gigitan ular, cukup dengan seutas tali. “Ikat saja dengan tali (di daerah tempat luka), dipencet, agar darahnya biar keluar,“ kata anak sulung dari empat bersaudara ini.
Kondisi dan pengalaman yang sama juga dialami Demas Mirin, mahasiswa asal Pegunungan Bintang lainnya. Menuju kampungnya, Elpomek, ia harus memikul ubi jalar seberat 5 kilogram sebagai bekal selama di perjalanan. Bila sudah lapar, ubi tersebut dibakar. Jika habis di tengah perjalanan, ia biasa meminta ubi kepada pemilik kebun di kampung-kampung yang dilewati. “Mereka tahu kita sedang jalan jauh. Mereka kasih kita bekal,†kata mahasiswa Diploma Kesehatan Hewan ini dengan logat Papua-nya.
Di Papua, tidak setiap kampung menggunakan bahasa yang sama. Setiap suku memiliki bahasa masing-masing. Agar dapat berkomunikasi, Demas dan Abenius harus menggunakan bahasa isyarat. Kendati kampung Abenius dan Demas jauh dari akses pendidikan, tidak mengendorkan semangat keduanya untuk melanjutkan pendidikan. Hingga akhirnya, ada tawaran beasiswa dari pemerintah daerah yang memberikan kesempatan untuk mengikuti seleksi di UGM. Keduanya lantas mencoba dan akhirnya diterima kuliah di UGM. “Senang dan bangga, saya bisa kuliah di kampus terkenal di Indonesia,†tuturnya.
Perasaan yang sama juga disampaikan Emiona Nerlin Tepmui, satu-satunya perempuan di antara kesembilan mahasiswa itu. Karena diterima di Prodi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Emiona berkeinginan untuk mengabdi menjadi perawat di kampung kelahirannya kelak. “Di sana belum ada perawat dan bidan,†ujarnya.
Kepala Bidang Humas dan Keprotokolan UGM, Drs. Suryo Baskoro, M.S., mengatakan kesembilan mahasiswa asal Pegunungan Bintang ini sebelumnya sudah lolos seleksi sejak tahun 2010 melalui program penelusuran bibit unggul pembangunan daerah, hasil kerja sama UGM dengan Pemkab Pegunungan Bintang. “Selama 10 bulan ini mereka mengikuti Program Matrikulasi di UGM. Tahun ini, mereka diterima secara resmi sebagai mahasiswa baru,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)