Tingginya angka prevalensi gangguan jiwa yang tidak diimbangi dengan tersedianya fasilitas pelayanan mencerminkan masalah kesehatan mental di Indonesia cukup memprihatinkan. Lebih memprihatinkan lagi bila melihat masih terbatasnya jumlah profesi yang menangani, yakni psikiater, perawat kesehatan jiwa dan psikolog.
Dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia pada 2011 yang sekitar 241 juta jiwa, jumlah psikiater yang ada hanya sekitar 600 orang dan jumlah psikolog klinis masih sekitar 365 orang. “Sementara permasalahan kesehatan jiwa ini menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan bagi individu, keluarga, masyarakat, dan negara karena berkaitan dengan kemandirian dan produktivitas penderita,” ujar Prof. Dr. Sofia Retnowati, M.S. di Balai Senat, Senin (12/9), saat dikukuhkan menjadi Guru Besar Fakultas Psikologi UGM.
Menurut Sofia Retnowati, tingginya prevalensi penderita gangguan jiwa yang tidak diimbangi dengan kapasitas layanan kesehatan jiwa yang memadai mengindikasikan tingginya treatment gap. Salah satu strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan memasukan layanan kesehatan jiwa ke pelayanan primer, yang di Indonesia dikenal dengan sebutan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). “Tersedianya layanan kesehatan mental pada pelayanan primer ini berkat adanya perubahan paradigma pelayanan kesehatan jiwa masyarakat sebab paradigma lama penanganan gangguan mental lebih fokus pada pendekatan medis-biologis, sementara paradigma menekankan pada pendekatan biopsikososial,” terangnya.
Terkait dengan hal ini, berbagai elemen masyarakat dan profesi kesehatan di Indonesia telah menempatkan pelayanan kesehatan jiwa di layanan primer. Salah satu strategi yang dipakai untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas ialah dengan menempatkan psikolog di puskesmas-puskesmas. “Program ini telah dirintis Pemerintah Kabupaten Sleman bekerja sama dengan Fakultas Psikologi UGM sejak tahun 2004. Keberhasilan program ini menjadi model Pemerintah Kota Yogyakarta yang mengembangkan lebih lanjut hingga kini,” katanya.
Dalam pidato “Psikolog Puskesmas: Kebutuhan dan Tantangan bagi Profesi Psikologi Klinis di Indonesia”, istri Prof. Dr. M. Noor Rochman Hadjam, S.U. ini mengungkapkan keberhasilan pelayanan psikologis di pelayanan primer sangat ditentukan oleh jalinan komunikasi yang baik antara psikolog dengan petugas kesehatan lainnya. Hal-hal yang kerap kali menjadi kendala dalam berkolaborasi adalah adanya “perbedaan budaya” antara pelayanan medis dan psikologis.
Guna meningkatkan kemampuan berkolaborasi dengan profesi medis di pelayanan primer, psikolog dituntut untuk memiliki komitmen berkolaborasi dengan tim kesehatan dan mampu beradaptasi di dunia medis serta membangun pola pikir kolaboratif agar menghemat waktu dan tenaga dalam melayani pasien. Selain itu, psikolog dituntut pula untuk menyesuaikan proses assessment dan intervensi dengan kebutuhan di pelayanan primer serta mampu berkomunikasi baik verbal maupun tertulis secara efektif dan efisien. “Dituntut pula laporan psikologis harus bebas dari jargon serta membina hubungan baik dengan jaringan rujukan,” jelas ibu Muhammad Aulia Rahman, S.E., M.Ec.Dev. dan dr. Muhammad Bherbudi Wicaksono ini.
Jalan integrasi psikolog dalam pelayanan primer memang baru saja dimulai. Tentu saja, masih banyak pernak-pernik yang harus dipikirkan bersama. Meski begitu, sebagai akademisi, Sofia Retnowati meyakini langkah-langkah kecil ini jika berhasil dikembangkan akan berdampak hingga pelosok negeri. “Jika integrasi ini menjadi sistem yang dapat diterapkan meluas, insya Allah akan menjadi karya nyata pengabdian psikolog untuk rakyat Indonesia,” tuturnya menutup pidato. (Humas UGM/ Agung)