YOGYAKARTA – Peneliti pada Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Drs. Samsu Rizal Pangabean, M.Sc., mengatakan kerusuhan dan konflik yang terjadi di kota Ambon pada Minggu (11/9) kemarin menunjukkan proses rekonsiliasi dan dialog yang dibangun oleh pemerintah dan antartokoh masyarakat di kalangan akar rumput belum sepenuhnya selesai. “Rekonsiliasi di beberapa tempat di Ambon belum selesai. Beberapa tempat, komunikasi antarkampung tidak jalan. Orang gampang sekali salah paham. Akibatnya kekerasan muncul di sana-sini,†kata Rizal kepada wartawan, Senin (12/9), di Fisipol UGM.
Menurut Rizal, proses rekonsiliasi antarmasyarakat masih sangat dibutuhkan. Pasalnya, antarwarga masih muncul saling ketidakpahaman dan saling curiga akibat dampak trauma konflik yang pernah terjadi sebelumnya. Ia mencontohkan masing-masing kampung yang dihuni komunitas muslim dan Kristen sampai saat ini masih saling berjaga jarak agar tidak menimbulkan konflik. “Mereka masing-masing selalu ekstra hati-hati. Urusan kecelakaan saja, gampang sekali berubah menjadi masalah yang lebih serius,†katanya.
Ia menyarankan para tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk mengajak warga masyarakat agar lebih saling berbaur, membangun dialog, saling pengertian dan kesepahaman melalui berbagai even kegiatan. “Persoalan selama ini, mispersepsi dan misinformasi antara warga masyarakat yang sering kali jadi pemicu konflik,†ujarnya.
Sementara itu, pengamat konflik internasional UGM, Dr. Eric Hiarej, M.Phil., menilai persoalan konflik di Ambon tidak terlepas dari proses identifikasi yang diterima masing-masing kelompok agama terhadap isu konflik internasional. Mereka pun menganggap konflik yang terjadi di kampungnya sebagai bagian dari perwujudan konflik internasional. “Beberapa kampung, sejak 30 tahun lalu sejak saya kecil sampai sekarang tetap belum berubah. Mereka menganggap kampung kristen sebagai ‘Israel’ dan kampung Islam sebagai ‘Palestina’,†tutur pria yang dibesarkan di Ambon ini. (Humas UGM/Gusti Grehenson)