Tantangan kedepan yang harus dihadapi dunia perunggasan Indonesia tidak hanya terkait ketercukupan kebutuhan gizi masyarakat berupa daging dan telur saja, melainkan juga harus merencanakan bagaimana agar dapat mengekspor produk-produk perunggasan (telur dan daging) secara massif untuk mendatangkan devisa bagi negara. Hal itu tentu tidak mudah, meski usaha-usaha kearah itu telah dilakukan oleh beberapa perusahaan perunggasan terkemuka di tanah air guna menembus pasar global.
“Kedepan, hal lain yang diharapkan dari dampak pengembangan usaha bidang perunggasan di tanah air adalah terserapnya tenaga kerja di subsektor peternakan pada khususnya dan sektor pertanian pada umumnya,” papar Prof Dr Ir Zuprizal DEA, saat dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Fakultas Peternakan UGM, Rabu (9/7).
Menurutnya perkembangan pesat industri perunggasan di tanah air saat ini tidak lepas dari industri pendukung utamanya, yaitu industri pakan ternak, khususnya untuk pakan ternak unggas. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ayam pedaging saja (broiler) diperkirakan produksi pakan terus mengalami peningkatan.
“Hal ini terlihat dari produksi Day Old Chick (DOC/kutuk) yang diperkirakan pada tahun 2008 mencapai 1,250 milyar ekor, dengan rata-rata perminggunya tidak kurang 23 juta ekor DOC, belum lagi ditambah kebutuhan pakan untuk ayam petelur (layer) dan unggas-unggas yang lainnya, pakan untuk burung puyuh, itik dan lain-lain, sehingga industri pakan ternak unggas akan menjadi hal yang penting untuk mencukupi kebutuhan tersebut,” ujarnya di ruang Balai Senat UGM.
Dalam pidato “Industri Pakan Ternak Unggas Di Indonesia: Tinjauan Dari Penggunaan Makronutrien Protein Pakan”, suami Dra Naimah Akif ini menjelaskan, bila pakan merupakan komponen vital dalam usaha ternak unggas. Biaya pakan ini bisa mencapai mencapai 60-75% sebagai biaya tidak tetap (variable cost) yang dikeluarkan dalam usaha peternakan unggas.
“Untuk itu salah satu kunci utama keberhasilan usaha peternakan unggas adalah bagaimana kita dapat menguasai dengan baik pembuatan pakan yang serasi yang memenuhi persyaratan kebutuhan nutrien (zat gizi) bagi ternak dan tentusaja dengan nilai ekonomis yang sangat baik atau yang dapat bersaing di pasaran,” ungkap ayah dua anak, Fahmi Hakim dan Ulfa Khoirunnisa ini.
Lebih lanjut dikatakannya, untuk mendapatkan formulasi ransum yang kandungan nutriennya ideal, menguntungkan dari sisi ekonomis serta mengurangi seminimal mungkin ekses pencemaran yang diakibatkan tidak efisiennya penggunaan protein dalam pakan ternak, maka beberapa konsep untuk formulasi ransum di industri pakan ternak terus mengalami perkembangan. Salah satu konsep yang cukup mendapat perhatian kalangan nutrisionis ternak unggas adalah konsep protein ideal.
“Konsep protein ideal secara umum diterima sebagai alat yang efisien untuk menentukan kebutuhan asam-asam amino bagi ternak,” tambah pria kelahiran Palembang 31 Agustus 1959 ini.
Konsep protein ideal, katanya, sering diterjemahkan dengan profil optimal dari asam amino esensial dalam pakan ternak. Meski pengetahuan tentang kebutuhan asam-asam amino esensial untuk pertumbuhan yang optimum bagi ternak sudah cukup baik, namun perhatian tentang kebutuhan asam-asam amino non esensial masih sangat kurang.
“Hal ini dapat memberikan gambaran yang kurang tepat akan kebutuhan nitrogen intake bagi ternak kita, dikarenakan bahwa asam-asam amino non esensial dapat merepresentasikan lebih dari 50% akan kebutuhan nitrogen intake bagi ternak unggas. Hingga kini, pengetahuan kita tentang proporsi yang optimum untuk asam-asam amino non esensial dalam protein ideal masih kurang jelas,” jelas Zuprizal.
Untuk itu, lanjutnya, ke depan pabrik-pabrik ternak dalam membuat/ memformulasikan pakan ternak unggas mestinya mempertimbangkan penggunaan sumber protein bahan pakan dengan seefisien mungkin. Penggunaan formulasi ransum dalam menentukan kebutuhan nutrien, khususnya protein asam-asam amino sebaiknya tidak hanya berdasarkan komposisi kimianya saja (cara konvensional), namun sudah harus mempertimbangkan nilai kecernaan dan nilai ketersediaan, serta konsep-konsep penyusunan ransum yang ideal,” tandas Prof Zuprizal, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Penelitian Fakultas Peternakan UGM 2004-2008 ini. (Humas UGM)