Fenomena bertambahnya perempuan masuk pasar kerja dapat dilihat dari semakin meningkatnya Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan dari waktu ke waktu. Menurut data tiga periode saat Sensus Penduduk tahun 1990, 2000, dan Sakernas 2010, TPAK perempuan secara nasional berturut-turut 38,79%, 43,98%, dan 51,76%.
Pada periode yang sama, TPAK perempuan di Provinsi Bali mencapai 52,52%, 63,06%, dan terakhir 70,16%. “Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan TPAK perempuan secara nasional. Keadaan ini memberi indikasi bila aktivitas ekonomi perempuan di Bali jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan secara nasional,” kata Anak Agung Istri Marhaeni di Auditorium PSKK UGM, Kamis (15/9).
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Bali, ini mengatakan hal itu saat menjadi pembicara pada seminar bulanan yang digelar Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada. Mengangkat tema “Tingkat Keberdayaan Perempuan Bali Dalam Jabatan Eselon di Provinsi Bali, Ditinjau Dari Dimensi Internal dan Eksternal”, Marhaeni menjelaskan tingginya aktivitas ekonomi perempuan di Bali tidak terlepas dari persoalan budaya (agama) di Bali yang memandang bekerja adalah sebuah Dharma atau kewajiban yang harus dilakukan baik laki-laki maupun perempuan. Bahwa kenaikan TPAK perempuan ini menunjukkan telah terjadi peningkatan pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi.
Sayang meningkatnya pemberdayaan perempuan dalam bidang ekonomi ini tidak serta merta diikuti meningkatnya kesejahteraan atau tingkat upah yang diperoleh. Bahkan jika dibandingkan dengan TPAK laki-laki, TPAK perempuan masih lebih rendah. Sebagai contoh pada tahun 1990 TPAK laki-laki di provinsi Bali mencapai 71,05% dan tahun 2010 meningkat lagi menjadi 84,64%. Hal inilah yang mencerminkan keberdayaan ekonomi perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Banyaknya perempuan yang terserap pada pekerjaan sektor informal cerminan adanya ketimpangan keberdayaan perempuan di bidang ekonomi, demikian pula rasio upah perempuan terhadap laki-laki. “Perluasan pembagian kerja secara seksual inipun terjadi sampai di sektor publik, dimana laki-laki dan perempuan memiliki segmen yang berbeda di sektor publik,” jelasnya.
Menurut Marhaeni ketimpangan perempuan dari segi ekonomi dapat dilihat pula dari keberdayaan mereka dalam jabatan eselon. Meski tingkat pendidikan dan keterlibatan perempuan dalam sektor publik meningkat, namun masih tetap terjadi ketimpangan dalam jabatan khususnya jabatan di lingkungan pegawai negeri sipil. Bahkan ketimpangan persentase pejabat eselon menurut jenis kelamin terjadi di semua kabupaten/kota maupun propinsi dalam kadar yang berbeda-beda. “Data memperlihatkan persentase perempuan Bali yang berhasil memegang jabatan eselon jauh lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Dengan kata lain laki-laki memiliki peluang jauh lebih besar daripada perempuan dalam memegang jabatan pimpinan,” papar kandidat doktor UGM ini.
Marhaeni menuturkan banyak teori maupun hasil penelitian yang telah dilakukan untuk mencari jawaban terhadap fenomena ini. Bahwa rendahnya peluang perempuan untuk menduduki jabatan struktural (eselon) diantara diakibatkan faktor-faktor, seperti faktor yang ada dalam diri perempuan sendiri maupun faktor yang berasal dari luar.
Faktor-faktor yang berasosiasi dengan tingkat keberdayaan perempuan ini, kata dia, dapat diidentifikasi ke dalam faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri perempuan (faktor internal) antara lain menyangkut motivasi berprestasi yang dimiliki, kualitas diri (humam capital), dan hambatan sosial psikologis. Sedangkan faktor yang berasal dari luar (faktor eksternal) dapat berasal dari keluarga maupun dari lingkungan masyarakat yang lebih luas, seperti faktor budaya, peluang pengembangan karir, demografi dan hambatan struktural. “Inilah faktor-faktor yang menghambat perempuan dalam rangka mengembangkan karier mereka untuk dapat mencapai posisi pimpinan atau jabatan lebih tinggi,” katanya. (Humas UGM/ Agung)