
YOGYAKARTA-Sejak orde baru, pola pembangunan yang dilaksanakan sangat jelas menunjukkan orientasinya pada pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kawasan yang memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi akan mendapat prioritas utama pembangunan. Sementara itu kawasan yang kurang memberi dukungan, cenderung terkesan asal jalan saja.
“ Ini yang kemudian menghadirkan disparitas yang makin melebar dan akhirnya menjadi masalah mendasar pembangunan di Indonesia selama orde baru bahkan sampai sekarang,â€papar staf pengajar Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM, Drs.Suharman, M.Si pada seminar bulanan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Kamis (15/9) petang.
Suharman mencontohkan beberapa disparitas tersebut diantaranya adalah Jawa dengan luar Jawa. Tidak dipungkiri, semenjak masa kolonial, Jawa menjadi pusat kegiatan ekonomi, pemerintahan dan semua kegiatan sehingga tidak mengherankan jika Jawa kemudian lebih siap dalam berbagai hal untuk berkembang. Luar Jawa (the outer island) merupakan kawasan yang kurang penting, kecuali di beberapa titik yang sejak dulu sudah menjadi pusat kegiatan ekonomi, selebihnya wilayah yang sangat luas di luar Jawa adalah belantara yang belum banyak tersentuh pembangunan.
“Jika kemudian orde baru memasukinya, lebih banyak eksploitasi daripada pembangunan wilayah itu,â€tegas Suharman.
Disparitas berikutnya yaitu desa dan kota. Karena kota menjadi pusat ekonomi, politik, pemerintahan dan sebagainya maka kota mengalami pertumbuhan yang sangat pesat karena prioritas pembangunan yang mendukungnya, sementara di desa baik di Jawa maupun luar Jawa merupakan kawasan yang tidak banyak mengalami sentuhan dan mendapat bagian ‘kue’ pembangunan.
“Belum lagi kalau kita juga bicara tentang kesenjangan antara kaya dan miskin. Kita tahu kelompok miskin merupakan kelompok yang paling sedikit mendapat tetesan hasil pembangunan,â€katanya.
Dalam pandangan Suharman, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tidak menjadi resep yang manjur untuk mengatasi problema kronis pembangunan ini. Di banyak daerah yang sumber-sumber pendapatannya besar, tidak menjamin kesejahteraan masyarakat juga meningkat secara signifikan. Justru yang terjadi adalah kecenderungan peningkatan penyalahgunaan anggaran dan munculnya kasus korupsi yang muncul bak cendawan di musim hujan. Sementara itu pembiayaan pembangunan makin jauh dari harapan masyarakat sebab proporsi belanja pegawai seringkali mendominasi kebutuhan anggaran dari tahun ke tahun.
“Inilah yang kemudian memunculkan anggapan dulu korupsi ada di pusat, sekarang pindah di daerah,â€tutur Suharman.
Di daerah terluar pembangunan infrastruktur pada umumnya kurang mendapat perhatian. Demikian pula pengembangan sektor pendidikan, kesehatan, pengembangan UMKM dll. Jika pemerintah pusat memberi proporsi anggaran ke tiap kementerian untuk melakukan pembangunan di daerah terluar banyak yang hanya asal-asalan, asal anggaran dibelanjakan, asal ada kegiatan atau barang, tidak peduli apakah barang atau kegiatan itu sesuai kebutuhan masyarakat setempat atau sesuai dengan kondisi lokal.
“Ada dulu program telpon berdering bahkan radio komunitas, tapi sejak diresmikan hingga sekarang telponnya belum pernah berdering sama sekali. Nah, problem-problem pembangunan khususnya di daerah terluar tersebut harus jadi perhatian serius pemerintah pusat,â€tegas Suharman.
Di tempat sama, Kasubbag Perundang-undangan Setwan Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara, Alpius Sarumaha, SH, MH pada diskusi tersebut sempat menyinggung peran Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang berperan setelah gempa 8,7 SR melanda Pulau Nias 28 Maret 2005.
Dijelaskan Alpius, dengan kehadiran dan bantuan BRR ada dampak positif bagi pembangunan dan sekaligus menyisakan beberapa permasalahan. Bantuan yang disalurkan BRR selama ini berupa peralatan tanpa disertai pelatihan yang memadai bagi penggunanya, tidak tersedianya tenaga teknisi yang profesional, contoh bantuan pelatan medis yang dihimpun dari beberapa NGO atau donator lainnya, akhirnya banyak yang menjadi besi tua.
“Itu yang terkait BRR. Kalau bicara persoalan transportasi dan fasilitas jalan, di Nias tidak banyak fasilitas jalan semulus yang ada di Jawa menghubungkan antar desa dan desa dengan kota,â€kata Alpius.
Sedangkan terkait persoalan pemekaran, imbuh Alpius, sektor pemerintahan yang mengisi jabatan struktural lebih banyak dari tenaga edukasi sehingga menyebabkan sekolah-sekolah kekurangan tenaga edukasi yang profesional. SDM di sektor pendidikan dan kesehatan juga diakui Alpius masih belum memadai.
“Untuk itu Pulau Nias memang membutuhkan sentuhan dan bantuan dari berbagai pihak, tidak hanya karena sedang mempersiapkan diri menjadi sebuah propinsi baru, tetapi Nias juga masih merupakan bagian dari NKRI,â€terang Alpius (Humas UGM/Satria AN)