YOGYAKARTA – Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4), Dr. Nasir Tamara, D.E.A., D.E.S.S., mengatakan kontribusi hasil pemikiran para ilmuwan dan intelektual Indonesia di dunia internasional masih sangat minim. Ia berharap pemerintah dapat mendorong para intelektual dan ilmuwan di kalangan kampus agar lebih banyak berkontribusi dalam memberikan hasil pemikirannya melalui berbagai tulisan dalam beragam kegiatan pertemuan ilmiah internasional.
Pemikiran-pemikiran tersebut harus berdasarkan atas pengalaman bangsa sendiri, bukan mengadopsi konsep-konsep teori-teori dari luar. “Pemikiran dari diri kita sendiri karena kita yang tahu diri kita sendiri, bukan dari konsep dan pengalaman dari luar yang belum tentu bisa diaplikasikan,†kata Nasir Tamara saat memberikan kuliah umum dihadapan 3.079 mahasiswa baru program pascasarjana di Grha Sabha Pramana, Kamis (15/9).
Menurut Nasir, sebenarnya banyak sumber hasil pemikiran brilian dari Indonesia. Namun, pemikiran-pemikiran itu masih minim dalam mempengaruhi kebijakan negara di seluruh dunia. Padahal, banyak kebijakan seragam yang diterapkan di seluruh dunia bersal dari pemikiran kalangan kampus. Ia mencotokan hasil pemikiran Jeffrey Sach dari Harvard University, Amerika Serikat, yang menulis tentang kebijakan menghapus kemiskinan ekstrim MDGs 2025. “Pemikiran itu dimulai dari kampus yang akhirnya diterapkan oleh PBB,†katanya. Selain itu, Nasir Tamara juga mencontoh hasil pemikiran ekonom Amartya Sen dari India dan Muhammad Yunus dari Bangladesh.
Yang tidak kalah penting, menurut Nasir Tamara, para intelektual dan ilmuwan harus memihak kepada kaum miskin dan lemah karena masih banyak rakyat yang hidup dalam kondisi kemiskinan dan kebodohan. “Tugas kita bagaimana memberikan pemikiran agar mereka menjadi manusia yang sejahtera,†tuturnya. Nasir berharap para mahasiswa selalu menyebarkan ilmunya kepada masyarakat. “Intelektual dan ilmuwan punya peran besar dalan proses ini,†katanya.
Dikatakan Nasir, pentingnya para ilmuwan dan inteletual untuk terjun langsung ke masyarakat karena kondisi negara saat ini memiliki pemerintah yang belum cukup banyak bekerja, kekurangan visi yang jelas, kepemimpinan lemah, dan kurang menggunakan kaum ilmuwannya. Kondisi tersebut diperparah dengan membiarkan matinya industri dalam negeri, lebih suka ekspor barang mentah, dan hasil tambang belum diolah. “Yang kita khawatir lagi, jangan sampai negara tidak sanggup mengatasi berbagai masalah lingkungan,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)