Selain sebagai satu perlengkapan hidup manusia, tenun dalam khazanah budaya Indonesia juga memiliki beberapa fungsi yang menyangkut aspek kehidupan masyarakat pembuatnya, terutama aspek sosial, ekonomi, religi, dan estetika. Dari desain, kain, dan warna, tenun pun memperlihatkan fungsi kain sekaligus kedudukan sosial pemakainya dalam strata sosial masyarakat. Di Indonesia, tenun merupakan seni kerajinan yang dilakukan secara turun-temurun yang dihubungkan dengan unsur fisik dan unsur spiritual.
Menurut Drs. Ganal Rudiyanto, M.Hum., seni kerajinan tenun di Bali berbeda dengan seni Batak Toba di Sumatra Utara. Seni tenun Bali banyak dipengaruhi oleh lingkungan fisik dan adat Hindu Bali yang melekat dalam kehidupan masyarakat setempat. “Tampilannya lebih mengutamakan keindahan, keindahan yang ditujukan kepada Dewa-Dewa Hindu Bali. Sementara tenun ulos yang terdapat di Tapanuli, meski dipengaruhi oleh unsur kosmos dan lingkungan, namun bentuk dan motifnya lebih sederhana,” ujarnya, Senin (26/9), di Sekolah Pascasarjana UGM.
Dosen FSRD Universitas Trisakti mengatakan hal tersebut saat menempuh ujian terbuka program doktor UGM. Didampingi promotor Prof. Dr. R.M. Soedarsono dan ko-promotor Prof. Drs. S.P. Gustami, S.U. dan Dr. M. Agus Burhan, M.Hum., promovendus mempertahankan disertasi ‘Bentuk Motif, Fungsi Produk, dan Makna Sosial Kultural Tenun Ulos Batak Toba di Sumatera Utara dan Tenun Gringsing di Tenganan Bali: Sebuah Studi Perbandingan’.
Makna-makna simbolis yang terdapat pada motif hias ulos dan tenun gringsing, menurut Ganal, tidak dapat diinterpretasikan secara bagian per bagian, tetapi harus secara total dan menyeluruh. Beberapa jenis tenun ulos dan gringsing dikenal melalui motif hiasnya yang dominan serta teknik tenunan dan warna yang dominan. Dengan demikian, motif hias yang terkandung di dalamnya akan bermakna bila diterjemahkan secara keseluruhan atau kesatuan sebagai sehelai daun. “Karenanya makna simbol yang terkandung dalam kain tenun ulos maupun tenun gringsing haruslah ditumbuh kembangkan guna memperkaya khazanah seni dan budaya bangsa,” katanya.
Tenun ulos dan gringsing telah melahirkan suatu konteks ide perwujudan sakral yang memiliki kehidupan atau integritas tersendiri, yang tidak lagi hanya sekadar sebagai sebuah karya semata-mata, tetapi bagian dari hidup dan kehidupan masyarakat Batak Toba dan Tenganan Bali Aga. Fungsi ragam hias ulos dan gringsing ini sebagai simbol yang memiliki makna, dan kemudian ditransmisikan secara historis oleh para leluluhur kepada generasi berikutnya guna dijadikan pegangan dan pedoman hidup di masyarakat. “Bahwa setiap pola hias berfungsi sebagai simbol, memiliki makna atau pesan masing-masing yang harus diikuti oleh semua warga,” kata Ganal berkesimpulan.
Menurut Ganal, bentuk dasar tenun ulos yang lebih didominasi motif geometri ini menyiratkan unsur kosmos sebagai simbol kasih sayang, kekerabatan, dan kesejahteraan. Sementara itu, gringsing lebih menampilkan tema flora dan motif pewayangan sebagai wujud keindahan yang dipersembahkan kepada Dewa Indra. Warna-warna yang tampil pada kedua tenun tersebut dipengaruhi oleh konsep kosmos, yakni putih, merah, dan hitam. “Meski penerapannya berbeda, namun makna yang terkandung di dalamnya sama,” imbuh Ganal yang dinyatakan lulus menjadi doktor ke-1456 yang diluluskan UGM. (Humas UGM/ Agung)