Kesejahteraan subjektif dapat mempengaruhi keadaan fisik dan psikis yang akan mempengaruhi penampilan seseoarang. Rendahnya kesejahteraan subjektif pada umumnya dikarenakan oleh beban kerja, tekanan waktu, kualitas supervisi, dan perasaan tidak aman.
“Pada karyawan produksi, kesejahteraannya kurang begitu diperhatikan oleh perusahaan. Pusat perhatian saat ini lebih menitik beratkan pada mesin, tanpa mempedulikan aspek psikososialnya. Dengan tingkat kesejahteraan yang minim dan tugas monoton maka profesi ini tergolong rawan mengalami stress,†kata Dra. Hartanti, M.Si., saat melaksanakan ujian terbuka Program Pendidikan Doktor Psikologi UGM , Jum’at (30/9) di Kampus setempat.
Hartanti mengungkapkan dari hasil survey yang dilakukannya diketahui bahwa masalah kesejahteraan yang sering muncul adalah masalah gaji yang minim dan kurang sesuai dengan kebutuhan. Permaslahan keuangan yang menyebabkan stress biasanya bersumber pada penghasilan yang tidak mencukupi, banyaknya tunggakan, serta tingginya kebutuhan hidup.
“Persoalan tersebut seringkali membuat pekerja tidak bergairah saat bekerja sehingga prestasi kerjanya menurun. Dengan kata lain kurang ketersediaan uang yang tidak sesuai dengan beban kerja inilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya stress kerja ,†papar staf pengajar pada Fakultas Psikologi Universitas Surabaya ini.
Dari hasil penelitian Hartanti yang dituangkan dalam disertasi berjudul “Faktor-Faktor Pendukung Kesejahteraan Subjektif Pekerja†diketahui bahwa kepribadian yang fit dengan tuntutan pekerjaan dan budaya organisasi mampu meningkatkan kesejahteraan subjektif karyawan. Disamping itu, aturan yang ketat di perusahaan serta tipikal budaya Jawa yang memiliki pandangan mengenai pentingnya keselarasan menjadikan agreeableness sebagai prediktor kesejahteraan subjektif karyawan produksi maupun karyawan supervisor.
Hartanti menyebutkan pada karyawan supervisor, imbalan kerja menjadi perdiktor kesejahteraan subjektif. Karyawan supervisor yang memperoleh prestasi tinggi akan diikuti dengan imbalan kerja yang tinggi pula. Namun berbeda pada karyawan produksi, imbalan kerja tidak menjadi prediktor kesejahteraan subjektif karena prestasi kerja karyawan produksi tidak diikuti dengan peningkatan imbalan kerja.
Sementara pada karyawan produksi kesejahteraanya ditentukan oleh faktor internal yaitu agreeableness, neuroticism, dan selera humor . Sedangkan faktor eksternal adalah dari dukungan sosial. “Hal ini menunjukkan bahwa para karyawan produksi selain berorientasi internal juga berorientasi eksternal dari pengaruh sosial. Berbeda dengan para supervisor yang lebih dipengaruhi faktor internal yaitu openness to experiences, agreeableness, rasa syukur dan imbelan kerja intrinsik,â€â€˜pungkasnya. (Humas UGM/Ika)