Terdapat tiga periodisasi penting terkait perkembangan PKL di Indonesia, tahun 1960, 1980 dan tahun 1998. Secara sosial, ekonomi dan politik, tahun 1960 merupakan tahun-tahun penuh kesulitan dan negara berhadapan dengan banyak persoalan. Di tahun-tahun itu ditengarai mulai muncul Pedagang Kaki Lima (PKL) dan premanisme ditengah masyarakat.
Sementara membaiknya pertumbuhan ekonomi tahun 1980 yang tidak diimbangi terbukanya lapangan kerja, menyebabkan perkembangan PKL mengalami peningkatan. Sedangkan di tahun 1998 telah terjadi perubahan paradigma terhadap PKL. PKL tidak lagi dipandang sebagai rakyat kecil dan miskin, tetapi terkadang sebagai orang yang memiliki pendapatan yang lebih baik dari mereka yang bekerja di sektor swasta dan pemerintah.
Demikian dikatakan Sheri Gibbings, kandidat doktor ilmu anthropologi, Universitas Toronto, Kanada, Kamis (17/7), saat memaparkan hasil penelitiannya di Pusat Studi Asia Pasifik UGM.
“Di tahun-tahun 1980-an sudah ada perubahan perlakuan terhadap PKL. Meski kebijakan mal menjamur, mereka lebih suka membeli di PKL karena disitu ada komunikasi antara pembeli dan penjual,” ujarnya.
Hasil penelitian Sheri menunjukkan terpusatnya PKL-PKL di Pasar Kuncen tidak selalu mengundang keuntungan. hal tersebut, katanya, karena akses pasar kurang strategis.
“Meski begitu beberapa pedagang merasa senang. Selain memiliki tempat berdagang yang jelas, ditempat ini PKL merasa memiliki masa depan,” tandas Sheri saat Diskusi Pedagang Kaki Lima: A Fihure of Indonesian Cultural Imaginary. (Humas UGM)