Penerapan beban pembuktian terbalik merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum/legislasi pemberantasan korupsi di Indonesia. Kejahatan korupsi semakin menggerogoti sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa sehingga modusnya semakin sulit terungkap dan berdampak merugikan masyarakat luas.
Korupsi diakui sebagai suatu bentuk white collar crime, kejahatan kerah putih, yakni suatu kejahatan yang melibatkan orang-orang memiliki kesempatan dan kapasitas tertentu, bahkan melibatkan banyak pihak. “Karenanya kejahatan ini kemudian disamakan dengan tindakan terorisme karena dampaknya yang merugikan perekonomian suatu bangsa, terutama bagi upaya-upaya untuk memperbaiki taraf hidup kaum miskin,” kata Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, S.H, M.H. dalam Seminar Nasional Ekonomi Bebas Korupsi: Stop Subsidi Korupsi, Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Korupsi dari Perspekstif Ekonomi, yang digelar BEM FEB UGM, Sabtu (8/10).
Menurut Gayus, kebijakan hukum yang terkait dengan beban pembuktian terbalik merupakan lex spesialis dalam sistem pembuktian karena KUHAP memberikan wewenang dan sekaligus tugas kepada jaksa penuntut umum guna membuktikan terdakwa bersalah atau tidak, yakni membuktikan terdakwa telah melakukan tindak pidana sesuai perbuatan yang dituduhkan kepadanya berdasarkan alat bukti yang diajukan ke depan persidangan.
Mengutip Pasal 66 KUHAP yang berbunyi “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”, rumusan ini tentu mengacu azas “praduga tak besalah” (presumption of innonce). Namun, karena pembuktian kasus korupsi dirasa sulit, diperlukan terobosan hukum melalui beban pembuktian terbalik. Kebijakan hukum yang mengadopsi beban pembuktian terbalik dalam kasus korupsi sudah dimulai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. “Melalui Perppu tersebut, korupsi dianggap sebagai delik yang luar biasa sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa pula,” ujarnya di Auditorium Magister Manajemen UGM.
Pengaturan tentang beban pembuktian terbalik pun terus mengalami perbaikan hingga pada puncak pengaturan, yakni UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Berbagai rumusan mengenai beban pembuktian terbalik ini pun tertuang pada Pasal 12 B, 37, 37 A, dan 38 B. “Namun, banyak ahli hukum menilai rumusan tersebut dalam UU No. 21 Tahun 2001 masih bersifat ‘multitafsir’, ‘mandul’, ‘sempit/masih terbatas’, sehingga pasal tersebut belum dapat dilaksanakan karenanya belum memberi dampak positif bagi upaya pemberantasan korupsi,” jelas Calon Hakim Agung Terpilih.
Beberapa persoalan penting terkait dengan beban pembuktian terbalik dalam UU No. 21 Tahun 2001 adalah beban terbalik masih sebatas pada pidana gratifikasi atau penyuapan sebagaimana tertuang pada Pasal 12 B. Sementara itu, Pasal 12 B bersifat multiinterprestasi serta memiliki kekaburan secara konseptual. UU ini memang menempatkan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga diperlukan tindakan pidana yang luar biasa pula (extra ordinary measures). Namun sayang, beban pembuktian terbalik yang diterapkan untuk tindak pidana penyuapan (bribery) bukanlah merupakan tindak pidana luar biasa. “Bahkan dianggap sebagai tindak pidana biasa (ordinary crime) sehingga tidak diperlukan upaya hukum yang luar biasa,” katanya. (Humas UGM/ Agung)