Pura Jagatnatha merupakan salah satu bangunan yang masih kokoh berdiri hingga kini di wilayah Jembrana Bali. Bangunan suci artistik atas persepsi isi alam tercermin dari kehadiran seni hias Pura Jagatnatha yang luluh dalam nilai agama, nilai keseimbangan, nilai solidaritas, dharma serta estetika dalam mencari gaya.
Drs. I Ketut Sunarya, M.Sn., dosen Jurusan Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Yogyakarta, menyebutkan seni hias Pura Jagatnatha dibangun berdasar konsep Tri Mandala dalam rumusan kosmologi Bali, yakni nyegara-gunung (laut-gunung) atau kelod-kaja (laut-ke arah gunung). Kelod adalah nistha alam butha kurang suci, sedangkan kaja ialah uttama mandala area paling suci. Sementara itu, area madtya adalah dataran tengah yang merupakan alam kehidupan manusia. “Berdasarkan konsep Tri Mandala ini, maka kehadiran seni hias tidak lepas dari konsep uttama, madhya, dan nistha,†kata Ketut Sunarya, Senin (10/10), saat melaksanakan ujian terbuka program doktor di Sekolah Pascasarjana UGM.
Dalam disertasi berjudul “Makna Simbolik dan Nilai Estetik Seni Hias dan Tata Letak Pura Jagatnatha di Jembrana dalam Kehidupan Keagamaan Masyarakat Hindu Baliâ€, Ketut Sunarya menuturkan di area uttama mandala khusunya kaja/ sisi arah gunung hadir seni hias dalam konsep sunya(sunyi), sakral, khusuk, dan hening. Seni hias yang menggambarkan kadewatan atau alam paling suci dengan menghadirkan Padmasana Lingga dalam wujud lengisan (halus) yang divariasi dengan pahatan datar dalam karakter kuno. Pada sisi kelod (selatan) area uttama mandala hadir kori agung yang megah dalam konsep hutan belantara sebagai sumber kehidupan.
Selanjutnya, pada area Madhya mandala pura, menghadirkan konsep keharmonisan dalam ruang klasik, luwes, ngrawit, dan seimbang yang membungkus candi bentar, bale kulkul, bale peninjauan, bale gong, dan bale pesadekan. Pada area nistha mandala dengan tatanan ardhacandra menghadirkan candi laras kampid cangak, naga bersayap, dan susunan geometris yang minimalis pada tembok pembatas pura dengan seni hias bersifat kekinian.
“Pura menggambarkan tiga puncak kejayaan seni hias Bali, yaitu masa Bali kuno sampai ditemukan karkter kebalian, masa keemasan kerajaan Gelgel dengan klasiknya, dan karakter kekinian dengan pengaruh baratnya,†kata pria kelahiran Banjar, Perkutat, Bali, 1958 ini.
Ditambahkan oleh Ketut Sunarya, seni hias yang terdapat pada pura Jagatnatha berpegang pada prinsip estetika. Pertama, fungsi menyangkut personal yaitu keindahan yang dipakai untuk menunjang upacara serta memenuhi kepuasan pribadi. Kedua, fungsi sosial yang menyangkut seni sebgai alat komunikasi dan bentuk pelestarian seni. Terakhir, fungsi fisik yang mencerminkan seni tidak hanya indah, tetapi juga fungsional yakni sebagai tadah taugeh, canggahwang, dan langki.
Sementara gaya seni di dalamnya menyangkut susunan formal yakni susunan intelektual, gaya susunan biomorfis, dan gaya susunan estetik. Kemudian gaya fantasi menyangkut cerita kadewataan, cerita rakyat, dan cerita alam butha. “Seni hias pada Pura Jagatnatha Bali selain indah, makna simbolik menjadi inti dalam pura tersebut. Di samping itu, seni hias juga menjadikan puri ini sebagai sesuatu yang ritual, symbol surge dan menjadi pemersatu umat menuju kebahagiaan lahir dan batin,†pungkas doktor UGM ke-1461 yang lulus dengan predikat sangat memuaskan ini. (Humas UGM/Ika)