YOGYAKARTA – Hasil riset dan produk teknologi dalam negeri belum menjadi pijakan para pengambil kebijakan dalam menumbuhkan sektor industri untuk mendorong kemajuan perekonomian bangsa. Akibatnya, banyak hasil riset dari perguruan tinggi tidak dapat berkembang menjadi produk inovasi karena tidak diserap oleh industri yang mampu memproduksi barang dan jasa yang bernilai kompetitif serta tidak didukung oleh adanya pasar yang loyal terhadap produksi dalam negeri.
Demikian beberapa hal yang mengemuka dalam diskusi penguatan jaringan penyedia antara peneliti dan lembaga litbang, yang dilaksanakan di Ruang Sidang Utama LPPM, Senin (10/10). Diskusi hasil kerja sama Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UGM ini menghadirkan pembicara Asisten Deputi Jaringan Penyedia, Deputi Bidang Jaringan Iptek, Kemenristek, Ir. Sri Setiawati, Kepala Bidang Peningkatan Mutu Penelitian LPPM UGM, Prof. Dr. Harno Dwi Pranowo, Kepala Bidang Pengembangan dan Layanan Riset Industri LPPM, Dr. Yusril Yusuf, dan Kepala Bidang Pengelolaan KKN-PPM, Pengembangan UMKM, dan Pelayanan Masyarakat, Dr. Joko Prastowo, M.Si.
Joko Pratowo mengatakan perkembangan iptek berkaitan erat dengan kemajuan perekonomian bangsa. Dalam upaya menciptakan stabilitas lingkungan makro ekonomi, pemerintah perlu merumuskan kebijakan industri yang berpihak kepada penggunaan hasil riset dan produk teknologi dalam negeri. “Lemahnya kebijakan bidang riset dibuktikan dengan minimnya dana riset dan belum terbangunnya infrastruktur dengan baik,†katanya.
Disebutkan Joko, minimnya dana riset dapat dilihat dari jumlah dana yang dikeluarkan oleh pemerintah dibandingkan dengan jumlah dosen di seluruh perguruan tinggi di Indonesia yang jumlahnya mencapai 170 ribu orang. “Jika mengacu dana riset yang ada saat ini, rata-rata setiap dosen hanya mendapat 300 ribu rupiah,†katanya.
Untuk mengatasi minimnya dana riset tersebut, perguruan tinggi seharusnya menjalin jejaring kemitraan kerja sama riset dengan industri. “Jejaring perlu diperkuat karena dana CSR (coporate social responsibility) belum sepenuhnya dimanfaatkan universitas untuk riset,†katanya.
Harno Dwi Pranowo mengakui tidak mudah menumbuhkan budaya riset di kalangan dosen. Ia menyebutkan di setiap fakultas di lingkungan UGM hanya 10-15 persen dosen yang suka meneliti dan termasuk mereka yang sering mengajukan proposal penelitian. Selain itu, para dosen tersebut mayoritas lebih suka melakukan penelitian sendiri dibandingkan dengan membentuk riset bersama. “Ini problem bagi universitas sehingga kita terus mencari jalan keluarnya,†katanya.
Harno mengatakan saat ini sebagian besar hasil riset di UGM merupakan hasil pendanaan kerja sama riset dari pihak luar yang persentasenya mencapai 64,57 persen, sedangkan dari pemerintah 34,79 persen. “Sementara dari internal UGM sendiri hanya 0,4 persen,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)