Tembang Macapat merupakan salah satu jenis kesenian Jawa yang memadukan antara puisi dengan musik dan sarat akan petuah, nasihat, serta berbagai kearifan pandangan hidup Jawa. Selain itu, tembang ini juga memiliki keunikan lain yaitu dihiasi dengan berbagai simbol di dalamanya yang harus ditafsirkan maknanya. Demikian dikemukakan oleh Drs. Dwi Bambang Putut Setiyadi, M.Hum., saat melaksanakan ujian terbuka Program Studi Linguistik Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Kamis (20/10) di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM.
Setiyadi menyebutkan wacana tembang macapat memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan jenis wacanan lainnya. Untuk itulah Setiyadi melakukan penelitian tembang macapat karena keunikan serta kesepesifikan wacana macapat menjadi penting untuk diteliti lebih jauh karena di dalamnya terkandung ungkapan-ungkapan yang berupa sistim kognisi dan kearifan lokal yang diwariskan generasi tua ke generasi muda etnik Jawa. Penelitian tembang macapat dilakukan pada etnik Jawa wilayah eks-Karesidenan Surakarta khususnya yang berupa pendidikan dan pengajaran (piwulang).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa struktur wacana tembang macapat Tripama, Wulangreh, dan Kalatida mempunyai karakteristik yang khas. Secara umum ketiganya memiliki fungsi-fungsi umum dan fungsi bahasa yang bermanfaat tinggi. “Fungsi umum pada ketiga tembang tersebut sebagai penyelamat nilai budaya, pembangkit jiwa pahlawan, didaktis, historis, dan religius. Sedangkan fungsi bahasa dalam wacana tembang macapat adalah sebagai instrumental, representasional, interaksional, personal, heruistik, dan imaginatif,†urai staf pengajar pada Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Derah (PBS) Universitas Widya Dharma, Klaten ini.
Dalam disertasi berjudul “Wacana Tembang Macapat Sebagai Pengungkap Sistem Kognisi dan Kearifan Lokal Etnik Jawaâ€, Setiyadi menuturkan dalam wacana Tripama mengandung makna keteladanan dalam hal nasionalisme. Selanjutnya dalam Wulangreh mengandung makna didaktis yang berupa ajaran etika dan budi pekerti dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan pada Kalatidha mengandung makna kegalauan jiwa penggubah tembang karena ketidakpuasan terhadap jalannya pemerintahan yang dirundung musibah.
“Dari makna yang diperoleh secara semantik tersebut, juga diketahui impilikatur/sasmita yang diperoleh dari ketiga wacana itu berupa tata hubungan antara manusia dengan tuhan, negara, dan manusia lain dalam kehidupan etnik Jawa termasuk pula hubungan manusia dengan lingkungan,†jelas pria kelahiran Klaten, 12 April 1960 ini.
Lebih lanjut Setiyadi menyampaikan, wacana tembang macapat Tripama, Wulangreh, dan Kalathida dapat dikatakan sebagai pengungkap sistem kognisi dikarenakan dalam wacana tersebut terdapat konsep cara pandang masyarakat etnik Jawa terhadap tuhan, negara, manusia, serta alam dan lingkungan. Sistem pengetahuan tersebut diungkapkan melalui tembang yang kemudian masuk ke dalam hati sanubari masyarakat Jawa karena selalu disenandungkan setiap ada kesempatan.
“Cara mengungkapkan pesan-pesan dalam kaitannya dengan ketiga hubungan manusia dengan yang lain adalah dengan menyisipkan ungkapan-ungkapan berisi ajaran positif maupun larangan bersikap negatif dalam larik-larik tembang. Ungkapan-ungkapan tersebut selanjutnya menjadi kearifan lokal etnik JAwa,’ pungkasnya. (Humas UGM/Ika)