YOGYAKARTA – Di mata para pengamat, petani sudah tidak lagi memiliki kedaulatan dan kemandirian dalam penyediaan pangan, bahkan mengalami kemiskinan secara sistematis oleh dampak kebijakan pembangunan sektor pertanian. Hal itu terjadi seiring dengan peningkatan biaya produksi pertanian yang tidak diimbangi dengan hasil pendapatan yang diperoleh. “Kini, benih, pupuk, dan pengolahan tanah justru menambah besarnya biaya produksi. Padahal dari waktu ke waktu harganya semakin meningkat,†kata Guru Besar Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM, Prof. Dr. Susetiawan, dalam diskusi seminar bulanan di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Kamis sore (20/10).
Susetiawan menuturkan kini para petani sudah tidak mengajarkan bertani kepada generasi berikutnya sebab bertani tidak lagi mendapatkan imbalan yang sepadan dengan kenaikan harga barang kebutuhan lain yang harus dibeli dengan uang. “Pemuda pedesaan kini memandang kehidupan pertanian tanpa prospek masa depan yang cerah,†katanya.
Karena kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, beberapa petani bahkan rela menjual tanahnya untuk memasukkan anak cucunya menjadi tentara, polisi, atau pegawai negeri dengan cara membayar. “Petani yang tanahnya sempit sekitar 0,25 hektar biasanya menanam padi bukan untuk dijual, tetapi untuk memenuhi kebutuhan pangan,†ujarnya.
Di samping itu, pendidikan pertanian juga dinilai Susetiawan sudah tidak lagi menyebabkan kebangkitan pertanian sebagai penyedia tanaman pangan di masa depan, bahkan pendidikan formal tidak berorientasi pada perkembangan pertanian. Sementara di pihak pemerintah, kegagalan pembangunan pertanian bukan semata-mata kegagalan satu kementerian saja, tetapi beberapa kementerian terkait yang tak pernah melakukan kerja koordinatif. “Kegagalan pembangunan pertanian secara otomatis mendorong kegagalan pendidikan pertanian, baik dilakukan secara formal maupun kemasyarakatan akibat perilaku sosial para pemuda desa terasingkan dari dunia kehidupan mereka sehari-hari,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)