Periode 40 tahun ke depan bukan merupakan waktu yang panjang untuk penentuan masa depan sebuah negara dan bangsa. Berbagai keputusan yang diambil saat ini merupakan fondasi penting bagi peradaban di tahun 2050.
Berbagai pilihan sikap yang dipakai saat ini merupakan potongan-potongan mozaik guna menyusun nasib dan wajah Indonesia 40 tahun mendatang. Demikian pula sikap yang diambil terkait dengan kebijakan energi di Indonesia. “Karenanya cerminan kebijakan yang diambil di tahun 2050 tentu tidak muncul begitu saja. Ia dapat dilihat dari proses kebijakan sebelumnya di tahun 2040, 2030, 2020, sehingga apa yang dikonsumsi tahun ini bisa menjadi cerminan kebijakan di tahun 2050,” tutur Prof. Dr. Ir. Mukhtasor, M.Eng., Ph.D. di Amarta Hall, Hotel Purosani Yogyakarta, Jumat (21/10), dalam Seminar Nasional “Skenario Kebijakan Energi Indonesia Menuju Tahun 2050”, hasil kerja sama Dewan Energi Nasional (DEN) dan Fakultas Teknik UGM.
Bagi Prof. Dr. Ir. Tumiran, M.Eng., membicarakan skenario proyeksi kebutuhan energi di tahun 2050 merupakan keharusan karena cadangan potensi energi semakin hari semakin menipis. Hampir semua energi minyak bumi saat ini habis untuk memenuhi kebutuhan energi transportasi, industri, dan kelistrikan. Diperlukan pemikiran dan pengelolaan energi alternatif guna memenuhi kebutuhan energi di tahun 2050, seperti pengelolaan energi gas, secara ekonomi dalam UU Energi terbaru memberi prospek pada suplai energi di tahun 2050. “Tentu saja semua ini dengan mempertimbangkan dimensi lokal-global serta berbagai permasalahan lingkungan yang dihadapi Indonesia,” terangnya.
Pendapat senada disampaikan Kepala BP Migas, Ir. R. Priyono. Dikatakannya bahwa saat ini dan ke depan semakin kesulitan mencari titik sumber minyak bumi, bahkan upaya untuk menemukan titik sumber semakin kecil. Oleh karena itu, Indonesia dalam waktu 15 tahun ke depan idealnya memasuki era energi gas. Hanya saja, bangsa ini masih mengalami kesulitan membangun infrastruktur untuk mengembangkan energi gas. “Pemerintah mestinya memperhatikan permasalahan ini sebab energi gas berbeda dengan minyak yang bisa dikemas dalam botol, jerigen, dan lain-lain, sementara energi gas menuntut kemasan yang berbeda,” katanya. (Humas UGM/ Agung)