YOGYAKARTA-Migrasi internasional, selain berdampak positif terhadap keluarga migran, secara ekonomi, juga berdampak negatif khususnya terhadap kesehatan psikologis anak. Hal ini terlihat dalam lebih tingginya masalah yang menyangkut “emotional symptom, conduct problems, dan hyperactivity†pada keluarga migran dibandingkan dengan nonmigran. Artinya adalah hilangnya peran salah satu, ibu atau ayah, atau bahkan kedua-duanya telah memunculkan masalah tersendiri bagi anak. Untuk itu perlu upaya untuk mengatasi masalah ini secara komprehensif.
Hal ini merupakan salah satu kesimpulan yang diperoleh dari penelitian beberapa peneliti UGM dan kampus lain dengan judul :Children health and Migrant Parents in Southeast Asia (CHAMPSEA) atau dampak migrasi internasional terhadap keluarga dan anak migran.
Drs. Sukamdi, M.Sc serta Dr.Anna Marie Wattie, M.A mewakili tim peneliti dari Indonesia menuturkan bahwa studi kasus tersebut mengambil lokasi di Sukabumi dan Tasikmalaya (Jawa Barat) serta Ponorogo dan Tulungangung (Jawa Timur) di tahun 2008-2010. Di samping itu penelitian juga dilakukan di Indonesia, Thailand, Vietnam serta Filipina.
Sukamdi menuturkan dari penelitian CHAMPSEA terdapat perbedaan antara anak-anak di rumah tangga migran dengan nonmigran. Anak-anak pada rumah tangga migrant teridentifikasi lebih banyak memiliki gejala problem sosial, lebih sering menimbulkan masalah, dan hiperaktif.
“Dengan kata lain, anak-anak pada keluarga migran lebih banyak bermasalah dengan teman sebaya dibandingkan dengan anak-anak pada keluarga nonmigran,â€tutur Sukamdi pada diseminasi hasil penelitian CHAMPSEA di kantor Magister Studi Kebijakan (MSK) UGM, Kamis (27/10).
Ia menambahkan secara psikologi, anak-anak pada rumah tangga nonmigran menyatakan lebih bahagia jika dibandingkan dengan anak-anak pada keluarga migran. Anak-anak pada rumah tangga migran cenderung lebih pasif dalam hal mengatasi masalah-masalah yang muncul, baik dalam keluarga (saudara kandung) maupun pekerjaan sekolah. Anak-anak ini, kata Sukamdi, juga menunjukkan kecenderungan untuk lebih menahan diri dan tertutup ketika mengekspresikan perasaan maupun saat mencari dukungan ataupun bantuan jika dibandingkan dengan anak-anak pada rumah tangga nonmigran.
“Jadi, dari penelitian ini bisa dikatakan bahwa migrasi internasional memberikan dampak secara langsung pada perkembangan anak-anak dan lingkungan sosial yang ditinggalkan. Meskipun tidak terlihat langsung, secara konstan dampak ini tetap memberikan pengaruh yang berbeda, terutama dampaknya pada perkembangan psikologi anak,â€tegas Sukamdi.
Senada dengan itu, Anna Marie Wattie mengatakan dengan hasil penelitian itu maka kebijakan yang perlu diupayakan adalah optimalisasi pemafataan remitan, bukan hanya untuk kepentingan ekonomi rumah tangga tetapi juga memberikan porsi yang lebih besar bagi pendidikan anak. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberdayakan keluarga migran dengan training mengenai family financing management. Selain itu, dalam rangka mengatasi masalah psikologis anak, pemerintah bersama NGO perlu melakukan pendampingan terhadap anak.
“Caranya pendampingan lewat jalur sekolah maupun jalur sekolah,â€terang Anna.
Sementara itu Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Usman Basuni, M.A agar ke depan penelitian ini bisa ditindaklanjuti lebih mendalam dan eksploratif sehingga bisa mendukung posisi anak yang ditinggalkan. “Yang perlu diungkap lagi yaitu mengenai keberhasilan pekerja migran yang perlu ke luar negeri, bukan hanya yang diekspose kegagalan atau keburukannya,â€kata Usman.
Di tempat sama Kepala Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan TKI (BNP2TKI) Ir.Jumhur Hidayat mengaku pihaknya terus berupaya meningkatkan pelayanan terhadap nasib para TKI di luar negeri. Banyak terobosan yang telah dilakukan bagi TKI dan keluarganya seperti dibukanya akses crisis centre yang memungkinkan keluarga bisa berkomunikasi atau mengetahui kondisi anggota keluarganya yang menjadi TKI di luar negeri.
“Selain itu dulu kantor atau pelayanan di KBRI misalnya di Hong Kong tiap Sabtu dan Minggu tutup. Padahal para TKI liburnya pada hari itu. Nah, kita pelopori dengan bantuan anggaran sehingga akhirnya sampai sekarang pelayanan di KBRI di hari libur tetap buka,â€tutur Jumhur (Humas UGM/Satria AN)