Dewasa ini tuntutan akan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang konsisten, bermutu tinggi dengan cara paling efektif, biaya terjangkau, serta akuntabel semakin menguat. Bagi rumah sakit negeri, pengendalian biaya pelayanan kesehatan seringkali menjadi persoalan yang cukup memberatkan di tengah ketatnya persaingan dengan rumah sakit dan klinik swasta. Dalam jangka panjang persoalan ini dikhawatirkan akan menjadi beban berat bagi anggaran belanja rumah sakit negeri.
“ Tak jarang pihak manajemen rumah sakit negeri mengeluhkan total biaya penanganan diagnosis tertentu sering berbeda-beda pada setiap dokter, bahkan sering lebih besar dari ketetapan Askes sehingga berpotensi merugikan rumah sakit negeri saat mengajukan klaim biaya ke pihak Askes,†jelas dr. F.L. Parluhutan Sitorus, M.Kes., saat menjalankan ujian terbuka Program Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan ,Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis (27/10) di Fakultas Kedokteran UGM.
Disampaikan Kepala Kantor Kesehatan Kabupaten Toba, Samosir ini tidak sedikit dijumpai kasus keberagaman penyelenggaraan pelayanan pasien dengan perbedaan perilaku dokter memberikan resep obat, pemeriksaan penunjang medik yang menyebabkan jumlah pembayaran untuk setiap kasus cenderung tinggi. Selain itu juga lamanya rawat inap dirumah sakit (LOS), lambatnya proses administrasi, dan lambatnya penanganan terhadap pasien merupakan persoalan yang sering dikeluhkan pasien.
Sitorus menuturkan, mengutip pernyataan Muller et al (2008), penerapan clinical pathways merupakan sebuah pendekatan yang dapat digunakan dalam rasionalisasi biaya tanpa mengurangi mutu. Metode ini merupakan model manajemen pelayanan kesehatan yang telah banyak diterapkan rumah sakit di berbagai belahan dunia. Pada tahun 2003 dilaporkan bahwa sebanyak 80% rumah sakit di Amerika Serikat telah menerapkan clinical pathways.
Dari hasil penelitian yang dipaparkan dalam disertasi berjudul “ Pengaruh Penerapan Clinical Pathways terhadap Efisiensi Pelayanan di Rumah Sakit Dr. Djasamen Saragih Pematang Siantarâ€, terlihat adanya penurunan biaya akibat penurunan lama waktu inap di rumah sakit (LOS), namun biaya penunjang medic meningkat secara signifikan setelah penerapan clinical pathways. Peningkatan terjadi pada seluruh komponen penunjang medik. Peningkatan lebih disebabkan karena kepatuhan terhadap clinical pathways dibandingkan suatu gejala yang berlebihan.
Sebelum penerapan clinical pathways, lanjut Sitorus, sudah menjadi kebijakan rumah sakit Dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar bahwa tindakan pemeriksaaan darah/urin rutin merupakan suatu keharusan bagi pasien yang terduga mengalami infeksi. Dengan alasan yang kurang diketahui, masih banyak dokter enggan memerintahkan jenis pemeriksaan laboratorium ini.
“Setelah penerapan clinical pathways, disamping penunjang diagnostik lain yang sudah tercantum wajib dalam alogaritme clinical pathways, pemeriksaan darah/urin rutin menjadi semakin wajib. Hal ini menjelaskan kenaikan penggunaan penunjang medic darah/urin rutin,†urainya. (Humas UGM/Ika)