YOGYAKARTA-Salah satu agenda pertahanan nasional yang mendesak dilaksanakan adalah membangun pertahanan pada daerah perbatasan negara. Di masa lalu, kebijakan pengembangan pertahanan pada kawasan perbatasan cenderung sepenuhnya mengedepankan pendekatan militer. Ternyata, model ini tidak cukup efektif untuk membangun pertahanan di kawasan perbatasan. Hal inilah yang mengundang keprihatinan kalangan perguruan tinggi yang tergabung dalam Forum Masyarakat Perguruan Tinggi Pemerhati Pengelola Perbatasan (MP4) untuk berperan aktif dan ikut menyumbangkan gagasannya dalam mencari solusi masalah tersebut. Ini pula yang kemudian melahirkan gagasan diadakannya workshop Pertahanan Kawasan Perbatasan Republik Indonesia kerjasama UGM dan UNHAN (Universitas Pertahanan) bersama beberapa perguruan tinggi lain seperti UNPAD, ITB, Universitas Cendrawasih, Universitas Nusa Cendana, Universitas Mulawarman, Universitas Tanjungpura, dan ITS. Acara didukung oleh Badan Nasional Pertahanan Perbatasan (BNPP).
Pengarah acara workshop Prof. Ir. Atyanto Dharoko, M.Phil., Ph.D. mencontohkan kawasan-kawasan di perbatasan Kalimantan bagian utara semakin tergantung kepada Malaysia Timur daripada Indonesia, khususnya berkenaan dengan kebutuhan sehari-hari hingga energi bahan bakar dan listrik. Terakhir, kasus kasus Camar Bulan dan Tanjung Datu, Kalimantan Barat yang juga masih melibatkan Malaysia.
“Sementara itu, di kawasan perbatasan Papua misalnya punya dinamika khas yang cenderung tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan militer semata,â€urai Atyanto kepada wartawan di R.Stana Parahita UGM, Jumat (28/10).
Ia menilai bahwa pengembangan pertahanan nasional, termasuk di dalamnya pertahanan di kawasan perbatasan, perlu didasarkan kombinasi dua model pertahanan, yaitu pertahanan militer dan pertahanan non-militer. Pertahanan non-militer mengedepankan pertahanan dalam arti mensejahterakan masyarakat melalui penguatan ekonomi rakyat di kawasan perbatasan, disertai dengan pengembangan watak sosial dan budaya Indonesia dan politik kebangsaan yang berorientasi kepada NKRI.
“Ini sejalan dengan paradigma baru untuk menjadikan kawasan perbatasan negara menjadi beranda depan negara,â€papar Atyanto Dharoko yang juga Wakil Rektor Bidang Alumni dan Pengembangan Usaha UGM itu.
Senada dengan itu Ketua Panitia Workshop, Prof. Dr. Ir. Irham, M.Sc. menambahkan beberapa topik yang akan dibahas dalam workshop antara lain menyangkut infrastruktur, sosial budaya, keamanan, hingga kelembagaan. Irham menegaskan dari workshop yang akan berlangsung selama dua hari, 1-2 Nopember 2011 itu akan ditindaklanjuti oleh masing-masing perguruan tinggi khususnya yang berada di kawasan perbatasan dengan programnya masing-masing.
“Nanti akan ada pertemuan rutin 6 bulan sekali antar perguruan tinggi yang terlibat ini untuk menindaklanjuti hal-hal penting lainnya,â€papar Irham.
Irham mencontohkan beberapa program yang mungkin dilakukan oleh UGM di kawasan perbatasan ini antara lain melalui program KKN yang telah berjalan. Apalagi, UGM selama ini telah menjalin kerjasama dengan daerah-daerah di kawasan perbasatan seperti Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.
“Nanti kita optimalkan kerjasama dengan kabupaten yang sudah ada MoU dengan UGM misalnya dengan mengirimkan mahasiswa KKN,â€terangnya (Humas UGM/Satria AN)