YOGYAKARTA – Perempuan di pedesaan belum sepenuhnya mengetahui tentang organ reproduksi, fungsi, dan sistem kerjanya. Pengetahuan mereka kerap dipengaruhi oleh mitos. Mitos tersebut diyakini sebagai sebuah kebenaran, tidak hanya terkait dengan kesehatan reproduksi, tetapi juga nilai-nilai perempuan dalam menjalankan peran sebagai istri dan ibu rumah tangga.
Hal itu dikemukakan oleh peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Dra. Budi Wahyuni, M.M., M.A., dalam pemaparan hasil penelitian tentang peran perempuan pedesaan dalam hubungan relasi kuasa dalam rumah tangga di Desa Burat, Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Pernyataan tersebut disampaikan dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Kedokteran, Sabtu (29/10). Bertindak selaku promotor Prof. dr. Mohammad Hakimi, Sp.OG (K)., Ph.D., dan kopromotor, Prof. dr. Djaswadi Dasuki, Sp.OG (K), M.P.H., Ph.D., dan Dr. Anna Marrie Wati.
Di hadapan tim penguji yang diketuai oleh Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., Budi Wahyuni mengatakan baik laki-laki maupun perempuan sudah seharusnya terlibat dalam proses produksi kesehatan reproduksi, terlebih untuk suami. Namun, kesadaran bersama ini jarang ditemui dalam rumah tangga. Sebaliknya, perempuan dibebani dengan labeling yang berlebihan.
Pada gilirannya, hak kesehatan reproduksi semata-mata dibebankan kepada perempuan, sementara suami lepas dari persoalan yang dihadapi perempuan dalam rumah tangganya. “Parahnya, hal ini dianggap sebuah keniscayaan dan budaya melanggengkan situasi ini,†katanya.
Perempuan kelahiran Yogyakarta, 23 Mei 1958 ini menambahkan dalam perlindungan dan jaminan keselamatan organ reproduksi dan hak dalam hubungan seks, perempuan belum cukup diperhatikan dan cenderung diremehkan. Bahkan, kebanyakan perempuan tidak tahu sama sekali mengenai penyakit-penyakit menular seksual, termasuk juga dalam hubungan seks yang hanya berorientasi pada kepuasaan suami semata. “Akibatnya, peran laki-laki sangat minim dalam produksi kesehatan reproduksi bahkan menempatkan perempuan pada posisi yang terbebani dan terancam,†tuturnya.
Sementara itu, ketimpangan relasi kuasa suami-istri lebih disebabkan karena kontruksi klasik yang menjadi mainstream pemahaman, baik laki-laki maupun perempuan, bahwa laki-laki adalah kepala keluarga. Konstruksi tersebut dipelihara dan disebarluaskan melalui forum dan aktifitas sosial.
Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang menentukan produksi kesehatan reproduksi, di samping nilai dan relasi kuasa yang ada di rumah tangga. Oleh karena itu, peningkatan informasi kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual perlu ditingkatkan dan diberikan sedini mungkin. Selain itu, perempuan perlu mengakses sumber-sumber informasi tentang seksualitas tanpa mengabaikan sisi kesehatan reproduksinya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)